Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlukah Berdebat?

26 Agustus 2022   22:15 Diperbarui: 26 Agustus 2022   22:20 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stigma yang melekat pada debat sering membuat orang percaya bahwa debat harus dihindari | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Orang biasanya menganggap perdebatan sebagai suatu percakapan kasar, penuh makian dan tidak menyelesaikan apa pun selain menambah persoalan. Malah, kita sering mengutip pepatah "diam adalah emas" sebagai dalih untuk menghindari terjadinya perdebatan.

Beberapa sentimen lainnya, bila diperiksa cepat-cepat, juga turut mengisyaratkan bahwa perdebatan adalah sesuatu yang tercela.

Semisal, penulis dan motivator terkemuka dari Amerika Serikat Dale Carnegie pernah mencatat, "Saya sampai pada kesimpulan bahwa hanya ada satu cara di bawah langit yang tinggi untuk mendapatkan argumen terbaik, dan itu adalah menghindarinya. Hindari itu karena Anda akan menghindari ular derik dan gempa bumi."

Kemudian pengarang dari Irlandia Oscar Wilde, dan saya sangat mengagumi karya-karyanya, pernah menulis, "Argumen harus dihindari, mereka selalu vulgar dan sering meyakinkan."

Keduanya kira-kira mau mengatakan bahwa, bagaimanapun caranya, kita harus menghindari argumen, atau lebih tepatnya adu argumen. Dan tentu sangat menyenangkan untuk membuat klaim seperti itu, tetapi sekarang kita perlu bertanya apakah itu benar serta akurat.

Jawaban ringkas saya: tentu saja tidak. Pernyataan mereka sangat ekstrem dan berlebihan. Yang (lebih) benar adalah, meskipun kita tidak selalu bisa bertukar penalaran dengan semua orang, batasan itu tidak menunjukkan bahwa argumen dan penalaran selalu sia-sia.

Memang, berdebat (terutama yang biasa kita temukan dalam kolom komentar media sosial) dapat membuat orang frustrasi dan jengkel, malah sering kali berakhir tanpa kesimpulan. Lawan berdebat sering tidak mendengarkan, dan itu hanya membuang-buang energi.

Namun, gambaran semacam itu tidaklah adil karena hanya memotret sebagiannya saja. Kita perlu memeriksa lebih lanjut tentang seluk-beluk perdebatan, mulai dari definisi hingga kapasitasnya dalam memecahkan suatu problem.

Apa Itu Debat?

Secara umum, debat biasa diartikan sebagai kegiatan adu argumen di mana para partisipan mendiskusikan suatu topik dari dua sisi yang berlawanan. Lebih singkatnya lagi, meskipun menjadi kurang definitif, kita dapat mengambil tiga kata pertama: kegiatan adu argumen.

Definisi itu sudah melukiskan gambaran besar mengenai perdebatan, namun masih belum terlalu jelas. Kita perlu menjabarkan maksud dari argumen itu sendiri.

Untuk memahami apa itu argumen, kita dapat memulainya dengan bertanya apa yang bukan argumen. Sejumlah kontras tentangnya diilustrasikan secara memukau oleh acara sketsa komedi legendaris dari Inggris, Monty Python, dalam salah episodenya yang berjudul "The Argument Clinic".


Adegan dimulai saat seorang pria datang ke sebuah klinik untuk meminta pelayanan berdebat. Setelah bertransaksi dengan resepsionis, dia mengambil pelayanan 5 menit berdebat dan lalu diarahkan menuju ruangan 12.

Dia berjalan menuju ruangan yang dimaksud dan tiba-tiba mendapati dirinya disentak secara agresif oleh seorang pria yang duduk di belakang meja. "Apa yang kaumau?" kemudian menyebut si pelanggan dengan kata-kata kasar dan kotor.

Karena kesal, si pelanggan dengan cepat-cepat menjelaskan bahwa dia datang untuk berdebat. Pria itu langsung menghentikan makiannya dan menjawab, "Oh, maafkan saya. Ini adalah abuse (ruang pelecehan)." Dengan kata lain, si pelanggan salah masuk ruangan.

Untuk sementara, kita dapat mengambil jeda sebentar dan menarik poin pertama kita bahwasanya argumen bukanlah pelecehan, pemakian, ataupun penghinaan. Sebuah argumen tidak boleh menyerang sifat pribadi lawan bicara (atau disebut argumentum ad hominem dalam istilah cacat logika).

Melompati adegan berikutnya untuk dibicarakan terakhir, sekarang si pelanggan memasuki ruangan berbeda di mana kepalanya dipukul menggunakan palu. Ketika si pelanggan bereaksi, dia diberitahu, "Tidak, tidak, tidak. Pegang kepalamu seperti ini, lalu teriaklah Waah."

Setelah kepalanya dipukul lagi dan lalu menjelaskan maksud kedatangannya, ternyata dia salah masuk ruangan lagi karena itu adalah ruangan untuk "pembelajaran memukul kepala". Meskipun terkesan absurd, namun kita dapat mengambil kontras kedua mengenai argumen.

Argumen bukanlah perkelahian, baik fisik maupun verbal, sebab tujuan argumen bukanlah untuk membuat kepala lawan sakit. Jika pertarungan argumen melibatkan kekerasan semacam itu, maka dapat disimpulkan bahwa itu bukanlah perdebatan, melainkan pertengkaran.

Ketika si pelanggan akhirnya mencapai ruangan yang benar, seorang pendebat (katakanlah dokter) sedang duduk di belakang meja dengan tenang. Pelanggan bertanya, "Apakah ini ruangan untuk berdebat?" Dokter itu menjawab kalem, "Saya sudah memberitahu Anda sekali."

Dari sana, si pelanggan mulai naik darah: "Tidak, Anda belum memberitahu saya." Lantas dengan segera dokter merespons, "Ya, saya sudah." Percakapan mereka terus berlanjut hingga menjadi saling cekcok satu sama lain antara "Ya-Tidak dan Ya-Tidak".

Pertentangan mereka akhirnya terhenti saat dokter bertanya, "Apakah ini (pelayanan) 5 menit berdebat atau setengah jam penuh?" Kemudian si pelanggan baru menyadari apa yang sedang terjadi: dia sedang dilayani. Dia tengah berdebat.

Namun, si pelanggan protes, "Ini bukan argumen; ini hanya soal kontradiksi. Sebuah argumen bukan sebatas kontradiksi."

Di sinilah kita mendapatkan poin ketiga bahwa argumen bukan sekadar saling membantah atau saling menyangkal. Jika saya membuat sebuah klaim, saya tidak bisa berargumen melawan klaim seseorang dengan sebatas mengatakan "Tidak".

Mengapa begitu? Si pelanggan memberitahu kita, "Argumen adalah sebuah proses intelektual."

Memang tidak dijelaskan lebih jauh tentang apa yang membuat sesuatu intelektual, tapi salah interpretasinya adalah bahwa suatu argumen perlu menghadirkan semacam bukti atau alasan, sedangkan penyangkalan belaka tidak memberikan bukti atau alasan apa pun terhadap klaim yang ditolak.

Poin itu mendorong si pelanggan untuk membentuk definisinya sendiri: "Argumen adalah serangkaian pernyataan yang saling terhubung, yang dimaksudkan untuk membangun proposisi." Pertanyaannya, apakah definisi ini sudah tepat?

Walter Sinnot-Armstrong, dalam bukunya Think Again: How to Reason and Argue, mengoreksi sedikit definisi tersebut dengan mengganti kata "membangun" menjadi "menyajikan alasan".

Dengan begitu, argumen adalah serangkaian pernyataan yang saling terhubung, yang dimaksudkan untuk menyajikan alasan bagi suatu proposisi. Serangkaian pernyataan di sini dapat juga disebut premis, sedangkan proposisinya merupakan kesimpulan.

Jika perlu dipadatkan lagi, meskipun terkesan mereduksi, argumen setidaknya memerlukan serangkaian premis untuk membuktikan suatu kesimpulan.

Demikian pula, bila debat berarti kegiatan adu argumen, maka tujuan berdebat adalah untuk mengungkapkan kesimpulan yang saling berlawanan dari suatu topik berdasarkan alasan atau bukti tertentu.

Audiens mesti dibuat paham tentang mengapa kesimpulan itu benar atau mengapa para pembicara mempercayai kesimpulannya masing-masing.

Penjernihan tersebut sangatlah penting supaya kita bisa menilai kapan suatu "perdebatan" benar-benar layak disebut perdebatan. Jika perdebatan dilakukan dengan keliru, orang sering kali menjadi alergi terhadap yang namanya perdebatan.

Kalau sudah begitu, orang akan hidup dalam gelembungnya sendiri-sendiri, menjadi pribadi dogmatis yang hanya meyakini pandangannya sendiri sebagai kebenaran tunggal. Sikap ini tidak membantu kita untuk mengembangkan pemikiran, malah merupakan racun bagi pikiran.

Debat yang keliru adalah manakala orang telah berhenti memberikan alasan mereka sendiri dan mencari alasan untuk posisi yang berlawanan.

Dengan kata lain, mereka terus mengklaim kesimpulannya sebagai benar tanpa alasan atau bukti apa pun. Namun, mereka punya seribu dalih dan tuduhan bahwa pendapat lawan adalah salah. Pada dasarnya, dalam kasus ekstrem, mereka termasuk kaum fanatik.

Bahkan ketika mereka memberi dan/atau menerima alasan, mereka melakukannya dengan cara yang bias dan tidak kritis, sehingga mereka gagal untuk bernalar dalam setiap sisi masalah. Mereka tidak menyelesaikan apa pun selain menambah persoalan.

Mengapa Harus Berdebat?

Dulu saya mengira bahwa tidak satu pun mamalia yang bertelur hingga suatu waktu tanpa sengaja, saya membaca sebuah artikel bahwa monotremata adalah mamalia yang bertelur. Saya bisa saja mempermasalahkan itu, tapi saya memilih untuk tidak melakukannya.

Apa pentingnya bagi kelangsungan hidup kita, khususnya bagi diri saya sendiri, bahwa ternyata monotremata adalah mamalia yang bertelur? Terkait hal-hal sepele seperti ini, kiranya kita punya alasan bagus untuk menghindari perdebatan dan beralih fokus pada problem-problem yang lebih serius.

Begitulah, kita tidak boleh menghindari argumen manakala argumen tersebut dapat mengubah hidup kita secara besar-besaran. 

Kita tidak semestinya menghindari perdebatan jikalau problem yang dibahas berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, terutama soal diri kita sendiri.

Mungkin lawan bicara kita tidak mendengarkan. Tapi, kita tidak perlu berharap sebanyak itu. Hal demikian hanya menunjukkan bahwa argumen belaka tidak selalu cukup dengan sendirinya untuk mendorong keyakinan atau tindakan tertentu.

Bayangkan kita terjebak dalam sebuah hutan dan harus menyalakan api untuk menghangatkan badan, juga demi bertahan hidup. Sebuah korek api tidak selalu menyala setiap kali kita menggeseknya.

Kadang korek apinya basah, kadang tidak cukup gesekan, kadang kurang oksigen. Kadang kalaupun menyala, apinya terlalu kecil. Masalahnya, kita tidak punya jalan lain kecuali menggesek korek api itu hingga menyala.

Dalam kasus semacam inilah, ketika argumen dapat memengaruhi banyak hal, kita tidak boleh mundur dan menghindari argumen. Kita bertanggung jawab terhadap itu, dan manusia beradab tidak akan pernah menyangkal tanggung jawabnya sendiri.

Selain itu, perdebatan (bila dimengerti sebagai metode untuk menggali pengetahuan dengan cara dialog) juga bermanfaat pada kelompok kasus yang sangat luas. Terutama jika yang diperdebatkan adalah masalah yang lebih bersifat logis daripada faktual, maka perdebatan merupakan metode yang baik untuk menyingkap kebenaran.

Masalah-masalah yang dimaksud berkaitan dengan problem yang tentangnya kita telah punya cukup pengetahuan untuk mencapai kesimpulan yang benar, namun kita tidak mampu memanfaatkan pengetahuan itu secara benar-benar logis karena cara berpikir kita agak rancu dan miskin analisis.

Dengan memahami argumen yang berlawanan, kita seolah dipandu untuk terus berjalan ke mana argumen itu sendiri membawa kita, dan lalu sampai pada kesimpulan yang mungkin masih sulit untuk dibenarkan sepenuhnya, tapi toh sangat memperkaya pemahaman kita tentang persoalan yang dimaksud.

Tentu perlu diakui terang-terangan: beberapa perdebatan tidak menghasilkan kesimpulan apa pun. Namun, seperti diungkapkan Joseph Joubert, "Lebih baik memperdebatkan sebuah pertanyaan tanpa menyelesaikannya daripada menyelesaikan sebuah pertanyaan tanpa memperdebatkannya."

Lagi pula, kita tidak akan pernah bisa meyakinkan semua orang, sebab kita pun tidak bisa menjangkau semua orang, dan itu tidak masalah. Kekecewaan yang timbul dari kegagalan untuk meyakinkan semua orang dihasilkan dari harapan yang tidak realistis.

Jika kita mengharapkan argumen kita menjadi bukti knock-down yang meyakinkan semua orang segera pada saat itu juga, maka pasti kita akan kecewa. Hampir tidak ada argumen yang bekerja  seperti itu.

Apabila kita memangkas harapan kita untuk membuatnya lebih realistis, dan seandainya kita cukup sabar untuk menunggu efek yang memakan waktu lama, sebagaimana guntur juga perlu waktu untuk bergemuruh setelah petir menyambar, maka kita akan menyadari bahwa nalar dan argumen kita juga bisa punya pengaruh.

Pada akhirnya, penolakan mayoritas orang untuk berdebat sering kali didasarkan pada pengertian debat yang keliru. Kita kerap mencampuradukkan antara perdebatan dengan perkelahian, saling menghina dan saling menuduh.

Stigma semacam itu perlu diberi jarak dan dipertanyakan ulang, sebab kalaupun kita benci perdebatan (hanya) karena persoalan begitu, kiranya kita telah bersikap irasional. Kebencian yang dimaksud semestinya tidak mengarah pada kegiatan berdebatnya, melainkan pada orang-orang yang keliru dalam berdebat.

Adapun perihal menghindari debat karena takut dipermalukan, itu persoalan lain. Yang jelas, kita senantiasa berselisih pandangan dalam banyak hal, dan sebagian di antaranya bisa memengaruhi kehidupan bersama. Bahkan, beberapa dari kita juga berselisih dengan diri sendiri.

Dalam perselisihan dan pertentangan tersebut, tidak semuanya punya jawaban yang benar dan pasti. Kendati begitu, jawaban-jawaban yang lebih baik tetap dapat diupayakan. Sebagaimana dikatakan Christopher Hitchens, "Waktu yang dihabiskan untuk berdebat, anehnya, hampir tidak pernah sia-sia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun