Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlukah Berdebat?

26 Agustus 2022   22:15 Diperbarui: 26 Agustus 2022   22:20 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stigma yang melekat pada debat sering membuat orang percaya bahwa debat harus dihindari | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Dalam kasus semacam inilah, ketika argumen dapat memengaruhi banyak hal, kita tidak boleh mundur dan menghindari argumen. Kita bertanggung jawab terhadap itu, dan manusia beradab tidak akan pernah menyangkal tanggung jawabnya sendiri.

Selain itu, perdebatan (bila dimengerti sebagai metode untuk menggali pengetahuan dengan cara dialog) juga bermanfaat pada kelompok kasus yang sangat luas. Terutama jika yang diperdebatkan adalah masalah yang lebih bersifat logis daripada faktual, maka perdebatan merupakan metode yang baik untuk menyingkap kebenaran.

Masalah-masalah yang dimaksud berkaitan dengan problem yang tentangnya kita telah punya cukup pengetahuan untuk mencapai kesimpulan yang benar, namun kita tidak mampu memanfaatkan pengetahuan itu secara benar-benar logis karena cara berpikir kita agak rancu dan miskin analisis.

Dengan memahami argumen yang berlawanan, kita seolah dipandu untuk terus berjalan ke mana argumen itu sendiri membawa kita, dan lalu sampai pada kesimpulan yang mungkin masih sulit untuk dibenarkan sepenuhnya, tapi toh sangat memperkaya pemahaman kita tentang persoalan yang dimaksud.

Tentu perlu diakui terang-terangan: beberapa perdebatan tidak menghasilkan kesimpulan apa pun. Namun, seperti diungkapkan Joseph Joubert, "Lebih baik memperdebatkan sebuah pertanyaan tanpa menyelesaikannya daripada menyelesaikan sebuah pertanyaan tanpa memperdebatkannya."

Lagi pula, kita tidak akan pernah bisa meyakinkan semua orang, sebab kita pun tidak bisa menjangkau semua orang, dan itu tidak masalah. Kekecewaan yang timbul dari kegagalan untuk meyakinkan semua orang dihasilkan dari harapan yang tidak realistis.

Jika kita mengharapkan argumen kita menjadi bukti knock-down yang meyakinkan semua orang segera pada saat itu juga, maka pasti kita akan kecewa. Hampir tidak ada argumen yang bekerja  seperti itu.

Apabila kita memangkas harapan kita untuk membuatnya lebih realistis, dan seandainya kita cukup sabar untuk menunggu efek yang memakan waktu lama, sebagaimana guntur juga perlu waktu untuk bergemuruh setelah petir menyambar, maka kita akan menyadari bahwa nalar dan argumen kita juga bisa punya pengaruh.

Pada akhirnya, penolakan mayoritas orang untuk berdebat sering kali didasarkan pada pengertian debat yang keliru. Kita kerap mencampuradukkan antara perdebatan dengan perkelahian, saling menghina dan saling menuduh.

Stigma semacam itu perlu diberi jarak dan dipertanyakan ulang, sebab kalaupun kita benci perdebatan (hanya) karena persoalan begitu, kiranya kita telah bersikap irasional. Kebencian yang dimaksud semestinya tidak mengarah pada kegiatan berdebatnya, melainkan pada orang-orang yang keliru dalam berdebat.

Adapun perihal menghindari debat karena takut dipermalukan, itu persoalan lain. Yang jelas, kita senantiasa berselisih pandangan dalam banyak hal, dan sebagian di antaranya bisa memengaruhi kehidupan bersama. Bahkan, beberapa dari kita juga berselisih dengan diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun