Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Negeri Air Mata

1 Agustus 2021   15:21 Diperbarui: 1 Agustus 2021   15:30 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semesta tidak berkewajiban untuk masuk akal bagi kita | Ilustrasi oleh Free-Photos via Pixabay

"Melalui mata kita, alam semesta memahami dirinya sendiri seperti kita melihat cermin. Melalui telinga kita, alam semesta mendengarkan harmoni dirinya sendiri. Kita adalah saksi yang melaluinya alam semesta menjadi sadar akan keindahannya."

Riuh kesejukan malam mengisi kekosongan di antara mereka, saling membisu dalam kesunyian, tenggelam dalam kekaguman masing-masing yang berbeda urusan. Antares mengagumi langit yang "berdebu", sedangkan Najma mengagumi perkataan ayahnya.

"Ayah amat sering menceritakanku keistimewaan alam semesta. Begitu pun Ibu yang saat itu memberitahuku bahwa alam semesta akan menangis jika kita berhenti mengaguminya. Tidakkah itu semua terlalu rumit untukku? Maksudku, aku baru 9 tahun dan belum tahu banyak hal."

"Jadi kau kira Ayah memahami alam semesta?" tanya Antares dengan sedikit tawa yang begitu mesra. "Tidak, Sayang, Ayah tidak memahami alam semesta. Begitu pun Ibu. Meskipun sekarang Ibu sudah berada di antara bintang-bintang, dia tidak ada bedanya.

"Semesta tidak berkewajiban untuk masuk akal bagi kita. Jika dia masuk akal, dia kehilangan semua keindahannya. Begitulah peraturannya."

Najma mengulangi kata-kata itu di pikirannya, lalu berkata, "Ayah benar. Ketika Ibu pergi untuk selama-lamanya, aku bisa jauh lebih mengaguminya. Sebab ketika Ibu tidak ada dalam jangkauanku, semua keindahannya menghiasi pikiranku."

Di kedalaman matanya, Najma melihat ayahnya menangis. Dia mengerti tentang betapa beratnya seorang ayah untuk menangis di hadapan putrinya. Lantas dia pun memeluk pinggang Antares sembari berusaha mencapai pipinya untuk sekadar menciumnya.

"Pernahkah kau mendengar kisah Alhena? Dia seorang gadis kecil sepertimu, Najma."

"Belum, siapa itu Alhena?" tanya balik Najma.

"Dia gadis kecil sebatang kara yang hidup pada masa Perang Dunia Kedua. Dia hidup di sebuah desa kecil daerah Hattfjelldal, Nordland, Norwegia. Ayah dan ibunya tewas oleh tentara Jerman yang tengah menginvasi Norwegia.

"Konon, dia selalu mengunjungi danau Rossvatnet ketika malam tiba. Di sana dia duduk di tepian danau dengan dikerumuni oleh kunang-kunang hingga kupu-kupu malam. Pada momen itulah danau menjadi cukup terang, dan dia pun bisa melihat pantulan dirinya di danau tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun