Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyingkap Kunci Sabar dalam Menghadapi Masalah Kehidupan

25 Juni 2021   17:42 Diperbarui: 28 Juni 2021   00:17 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sabar dengan sekadar menerima saja tidaklah mudah | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Mereka bilang, "Kunci sukses dalam kehidupan adalah sabar." Seruan bersabar pun kini telah dijual murah oleh kebanyakan orang hingga petuah itu nyaris tidak bernilai apa-apa lagi. Orang-orang sudah muak mendengar kata "sabar"!

Kata tersebut seolah menjadi jalan keluar paling mudah saat situasi benar-benar buntu. Bahkan ketika mereka tidak bisa membantu apa-apa lagi terhadap korban nestapa, mereka hanya bisa berkata sabar.

Masalahnya, bersabar itu tidak sesepele yang diucapkan!

Memaksakan diri untuk bersabar tentulah mudah bagi siapa pun. Tetapi kesabaran itu tidak lebih dari segumpal permen kapas yang ditelan air ludah. Ia muncul sesaat hanya untuk menunjukkan kedoknya sebagai kekuatan hati yang sebenarnya teramat rapuh.

Kita tidak bisa berpura-pura untuk itu. Katanya kunci surga adalah sabar. Kunci kemenangan adalah sabar. Kunci kesuksesan adalah sabar. "Ya Tuhan, ajari aku kesabaran. Dan bisakah Engkau cepat mengabulkan itu?"

Kita semua tahu itu! Setiap orang mengucapkannya di kala kemalangan menimpa. Dan jujur saja, Anda begitu suka memasang "nasihat sejuta umat" itu di status WhatsApp, harap-harap mereka akan peduli dengan Anda. Atau jika tidak, Anda cukup tergoda untuk melakukannya.

Pertanyaan pentingnya adalah, apa kunci dari kesabaran itu sendiri?

Hanya sedikit dari kita yang membicarakan kunci bersabar. Selama ini asumsi kita begitu sederhana bahwa bersabar berarti menerima. Kenyataannya, sekadar menerima saja amatlah sulit. Perlu "kunci dari kunci" agar kesabaran yang didambakan itu mudah dicapai.

Sekurang-kurangnya, saya menemukan 5 landasan yang dapat kita jadikan sebagai pijakan dalam menyulut kesabaran.

1. Berusaha untuk mengerti

Menerima tanpa mengerti hanyalah tangga kemenangan yang bersandar pada dinding yang rapuh. 

Sikap pengertian di sini mengarahkan kita pada tahap empati yang merupakan instrumen penting dalam membangun kesabaran.

Pernah suatu waktu, makan siang saya diinjak seekor kucing yang entah dari mana kemunculannya. 

Piring itu saya tinggalkan di lantai sebentar untuk mencuci tangan, dan ketika saya kembali, semua sudah tumpah berceceran tanpa sisa sedikit pun.

Udara panas yang dipadukan perut keroncongan benar-benar mendidihkan seluruh aliran darah saya hingga amarah itu membuat kepala cukup pening. Seketika kucing itu kembali lagi dan sedang mengejar seekor tikus kerdil yang amat lincah.

Saya punya pilihaN, memukul kucing itu (hingga mati) atau bersabar dengan segera membereskan pecahan piring. 

Dalam puncak amarah itu, tiba-tiba saya berpikir bahwa tingkah kucing tersebut terbilang wajar dan mesti dimaklumi.

Saya merasakan pengertian yang sangat lembut bahwa seekor kucing punya naluri untuk mengejar tikus, dan tidak seekor kucing pun yang dapat melawan naluri tersebut. 

Seekor kucing bukanlah hewan berpikir seperti manusia. Dia tidak punya daya untuk mengendalikan nalurinya.

Dalam kejernihan pikiran itu, amarah yang tadinya membakar sekujur badan saya mendadak padam. 

Sekonyong-konyong perasaan jenaka mulai muncul, dan saya hanya tertawa tanpa kejelasan saat itu.

Pengertian dalam konteks ini tidak sepenuhnya merujuk pada pikiran. Jika kita hanya sebatas mengerti di tingkat akal, kesabaran yang kita junjung tidak akan muncul ke permukaan. Akal manusia punya kendali yang lemah. Buktinya, penjahat cerdas banyak berkeliaran di dunia ini.

Pengertian yang diolah dalam pikiran harus ditindaklanjuti oleh hati (atau perasaan). Di sinilah kita dapat sampai pada tahap empati. Dengan mengerti dan merasakan, kita telah memadukan kecerdasan dan kelembutan yang harmonis.

Ketika saya berpikir tentang naluri seekor kucing, saya turut memposisikan diri seandainya saya seekor kucing. Meskipun terdengar konyol, tapi pembuktian sebenarnya ada pada hasil akhir. Saya sama sekali tidak memaki kucing tersebut, malahan saya memberinya makan.

Penerimaan terhadap suatu masalah akan semakin kuat saat penerimaan tersebut disertai alasan yang rasional. Di sinilah pikiran berperan. Dengan kebutuhan untuk mengerti inilah kita tahu bahwa pengetahuan seseorang punya pengaruh yang fundamental.

Tidak semua orang bisa mengerti bahwa seekor kucing dikendalikan oleh nalurinya. 

Kebanyakan orang akan menyamakan kucing dengan manusia sehingga mereka pun memukuli atau memaki-maki kucing tersebut. Padahal semua itu hanya memperjelas kebodohan mereka.

Pada titik inilah kita bisa tahu bahwa kesabaran akan lebih mudah bagi mereka yang berpengetahuan tinggi.

Tetapi berhenti di pikiran saja hanya menyamakan kita dengan para perampok kelas atas itu. Diperlukan dorongan perasaan dari hati untuk benar-benar mengerti, sehingga tindakan kita dalam tahap selanjutnya bisa terkendali.

Misalnya Anda begitu kesal ketika barang yang baru saja Anda beli tiba-tiba rusak. 

Mengertilah kalau hakikat sejati dari setiap barang adalah kemungkinannya untuk mengalami kerusakan. Dorong perasaan Anda untuk memaklumi, dan dengan begitulah kesabaran dapat terukir.

2. Menanamkan kepercayaan

Ah, saya mengerti tentang seberapa kesalnya Anda saat seorang teman tidak kunjung membayar utangnya kepada Anda. Mungkin kepalan tangan Anda sudah begitu keras hingga tidak sabar lagi ingin memukul mulutnya yang sering menyampaikan alasan.

Cobalah tanamkan kepercayaan terhadapnya bahwa dia benar-benar belum mampu membayar utangnya, bahwa dalam waktu dekat dia akan membayarnya, bahwa semua alasan itu benar adanya bahwa dia sendiri juga ingin segera melunasi utangnya.

Mungkin itu terkesan "menipu diri sendiri" lewat pemikiran-pemikiran positif. Dan saya mesti mengakuinya bahwa itu tidak keliru. Tetapi itulah wujud asli dari kesabaran: pahit untuk mengharapkan hasil yang manis.

Dan lihatlah kebenaran yang mungkin Anda lewatkan. Kini Anda tidak harus mengorbankan pertemanan, atau menyakiti perasaannya, atau membentuk pribadi Anda menjadi rakus.

Tidak, Anda hanya menanamkan kepercayaan yang tinggi pada buah dari kesabaran, layaknya ketika Anda meminum obat.

Saya tahu, kasus ini jauh lebih sulit kalau melibatkan uang yang begitu banyak atau Anda sendiri telah kehabisan uang. 

Dan perlu Anda catat baik-baik bahwa saya tidak memaksa Anda atas apa pun.

Saya hanya mengantarkan Anda sampai ke pintu. Tapi kemudian, Anda sendirilah yang harus memutuskan sendiri untuk melanjutkan perjalanan atau tidak.

Prinsip kepercayaan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu secara eksternal dan secara internal. Secara eksternal, Anda percaya bahwa "objek" akan berubah di masa mendatang.

Sedangkan secara internal, Anda percaya bahwa Anda sendiri akan melakukan hal yang sama kalau berada dalam situasi yang serupa dengan "objek". 

Pada intinya, prinsip kepercayaan ini dapat diterapkan pada masalah apa pun selama Anda sendiri punya keterbukaan untuk memaafkan.

3. Berpikir realistis

Rasa sabar dapat muncul ketika Anda tidak berpikir idealis. Idealis berarti pikiran Anda terarah pada yang "seharusnya terjadi". 

Anda hanya mampu berpikir tentang hal-hal yang tidak terjadi, sedangkan Anda sendiri sangat yakin bahwa itu seharusnya terjadi.

Misalnya lamaran kerja Anda baru saja ditolak dan Anda bergumam, "Duh, kenapa aku ditolak? Padahal semua kriteria yang mereka inginkan ada dalam diriku. Aku seorang ahli komputer! Apa yang mereka benci dariku? Aku pikir mereka tidak adil!"

Pikiran semacam itu terlalu mengarah pada kondisi yang "ideal", padahal kehidupan ini punya banyak kejutan untuk semua orang. Rasa sabar pun tidak bisa muncul ke permukaan karena terhalangi oleh harapan-harapan yang tidak terkabulkan.

Tentu saya tidak sedang membicarakan optimisme. Itu persoalan lain. Tapi yang ingin saya anjurkan di sini adalah, berpikirlah secara realistis. Dalam kasus yang sama, Anda dapat berkata, "Oh tentu saja, aku punya banyak saingan yang barangkali lebih berkualitas dariku."

Asumsi semacam itu bukanlah cara untuk menghina diri sendiri, melainkan sepercik cahaya kecil untuk menyulut bara semangat yang lebih besar. Dengan demikianlah Anda mesti memperbaiki diri sendiri, atau setidaknya melamar pekerjaan di tempat lain.

Di sini dapat kita simpulkan bahwa pemikiran realistis tidak merujuk pada "apa yang seharusnya terjadi", tetapi merujuk pada "apa yang terjadi hanya akan terjadi". Begitulah cara sederhana kita untuk mengambil pembelajaran dari realitas; sesuatu yang jelas-jelas ada dan nyata.

4. Lambat untuk cepat

Dalam mencapai kesuksesan, telah lumrah diketahui bahwa proses adalah segalanya. Tetapi masalah terbesar dari proses tersebut ialah, diperlukan waktu yang lama untuk melangkahi setiap anak tangga kesuksesan.

Tidak semua orang bisa bersabar untuk itu. Karenanya kebanyakan dari kita suka mengambil jalan pintas, entah dengan uang, orang dalam, atau semacamnya.

Justru ini membahayakan! 

Seandainya yang ada hanyalah anak tangga yang harus dipijaki satu per satu, memilih untuk langsung melompat menuju puncak malah akan membuat kita terjatuh ke garis awal, hingga pilihan satu-satunya adalah memulai kembali semuanya.

Jelas ini tidak efektif, karena pada akhirnya, kita butuh waktu lebih lama dari yang seharusnya.

Tidak apa-apa untuk berjalan lambat menuju puncak. Kesabaran dalam proses ini akan membuka peluang penyingkatan waktu di masa mendatang, ketika kilauan emas-emas itu ada dalam genggaman kita.

Inilah yang saya maksud dengan "lambat untuk cepat". Sebab akan lebih menyakitkan kalau kita harus mengulanginya dari awal hanya karena satu anak tangga yang terlewati. Jadi terimalah proses tersebut sembari persiapkan diri untuk menyambut kemenangan.

5. Hindari generalisasi

Ketika Anda merasakan amarah yang tak tertahankan kepada seseorang, berupayalah untuk menilainya secara keseluruhan dan pikirkan bagaimana dia punya peranan dalam hidup Anda. 

Dalam kebanyakan kasus, kita sering mengabaikan kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahannya.

Begitulah cara kerja generalisasi, mereka membentuk kesimpulan secara umum melalui suatu kejadian, hal, dan sebagainya. 

Mereka menyederhanakan sesuatu daripada yang sebenarnya. Dan generalisasi ini sering kali didorong oleh ketergesa-gesaan kita dalam menilai sesuatu.

Katakanlah saya (yang merupakan sahabat Anda) baru saja menjatuhkan ponsel Anda tanpa sengaja. Alih-alih menampar saya karena satu kesalahan itu, lebih baik pikirkan dulu tentang kebaikan atau peranan saya dalam hidup Anda.

Jika sudah, Anda dapat menyimpulkan apakah saya ini hanyalah kepulan polusi dalam hidup Anda atau sebongkah mutiara yang punya setitik cacat di permukaannya. Pertimbangkan dengan matang.

Andaikan saya memang banyak berbuat kesalahan terhadap Anda, jangan dulu menampar saya! Aw! Kembali lagi ke landasan pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Kalau hasilnya tetaplah sama, silakan tampar saya!

Tapi sungguh disayangkan, saya mulai meragukan tingkat kewarasan Anda.

Dilematik batas kesabaran

Sebagian orang percaya bahwa kesabaran itu ada batasnya. Sebagian lagi bersikeras tidak; kesabaran itu tidak ada batasnya. 

Saya tidak tahu Anda berpihak pada yang mana, tapi saya tahu bahwa Anda akan bertanya tentang keyakinan saya sendiri.

Sesungguhnya kita sangat beruntung menjadi manusia. Kita adalah makhluk dua dunia. Kita seperti suatu makhluk yang mengombinasikan esensi malaikat dan hewan.

Malaikat dan manusia sama-sama punya roh dan akal. Tapi, manusia juga punya badan yang bertumbuh. Kita tumbuh dan berkembang seperti tanaman dan hewan!

Tidak hanya itu, hewan juga diciptakan dengan nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat. Dalam hal ini, manusia sama seperti hewan. Itulah mengapa kita berpotensi melakukan keburukan seperti hewan, sedangkan malaikat hanya berbuat kebaikan.

Perbedaannya, manusia dituntut bertanggung jawab atas nafsunya karena dianugerahi akal, sedangkan hewan tidak.

Maksud saya di sini adalah, kita punya nafsu/naluri yang menghambat kesabaran untuk naik ke permukaan. Berbeda dengan malaikat di mana mereka tidak punya nafsu sehingga hanya berbuat kebaikan. Lagi pula, kehidupan kita berbeda dengan malaikat.

Atas dasar itulah, saya berpendapat bahwa dalam taraf manusia normal seperti saya, kesabaran itu ada batasnya. 

Meskipun mereka katakan kesabaran itu tidak ada batasnya, saya lebih condong pada realisme dan melihat kenyataan tanpa membumbuinya dengan "seharusnya".

Pertanyaannya, di mana letak batas kesabaran itu? Yaitu ketika masalah yang dihadapi sudah bersangkutan dengan hidup dan mati.

Saya tidak bisa duduk bersabar saat seorang teman datang mendobrak pintu dan menodongkan gergaji mesin pada saya. Atau seorang perampok yang tiba-tiba berada di kamar saya sedang melacak lemari.

Atau Anda yang tiba-tiba meneror saya dengan surat bahwa dalam satu jam ke depan, seorang pembunuh bayaran akan mengetuk pintu saya dengan kasar. Saya berhak untuk hidup!

Ujung-ujungnya, mungkin hanya perlu satu landasan yang melekat dalam pikiran Anda, karena jarak antara tragedi dengan reaksi Anda hanya selang sepersekian detik. Tetapi momen singkat itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di waktu mendatang.

Jadi setidaknya, ingatlah satu kunci atau landasan yang saya paparkan tadi. Tidaklah realistis jika Anda mengingat semua landasan itu, sedangkan dalam puncak amarah, pikiran Anda tidak bekerja begitu baik untuk bisa mengingat semua landasan yang saya maksud.

Nah, pada akhirnya, kita akan tahu siapa yang akan memenangkan kehidupan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun