Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Seorang Filsuf Bermain Media Sosial

9 Juni 2021   17:32 Diperbarui: 9 Juni 2021   17:34 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apa jadinya jika seorang filsuf bermain media sosial? | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Kalau dipikir-pikir, perkembangan media sosial belakangan ini banyak mengarahkan penggunanya pada keburukan. Kita melihat media sosial telah digunakan melebihi hakikat awalnya. 

Para pionir media sosial bermaksud menyatukan seluruh dunia tanpa terhambat ruang dan waktu, tetapi kini yang terjadi malah memecah belah.

Media sosial menjadi ruang baru berbasis digital yang digunakan kelompok yang satu untuk menentang kelompok yang lain. Para pengguna terbagi ke dalam beberapa kubu, terkadang kita yang tidak tahu apa masalahnya begitu tergoda ingin bergabung ke salah satu pihak.

Hal yang paling menyedihkan dari perdebatan ini adalah nihilnya kesimpulan. Masing-masing pihak terus berkoar tanpa dasar sehingga kesimpulan yang harusnya menjadi produk akhir sering kali gagal untuk dicapai.

Media sosial telah menjadi sarana untuk menyebarkan ujaran kebencian, provokasi, berita hoaks, bahkan ajang pamer. Media sosial sudah seperti ring tinju yang digunakan untuk berkonflik, dan menunjukkan kepada dunia siapa yang paling sejahtera.

Manusia bersaing dengan sesamanya untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Kenyataannya, kita semua adalah noktah kecil yang melayang-layang di ruang hampa alam semesta. Kita saling beradu dengan senyap, menyembunyikan rasa sinis jauh dalam lubuk hati.

Ego yang memuakan itu telah diwadahi oleh media sosial. Karenanya, bermain media sosial tidak lagi menjadi sesuatu yang sepele. Setiap orang perlu keterampilan khusus untuk menjaga mentalnya, jaga-jaga kalau dirinya terlanjur masuk dalam konflik di layar digital.

Media sosial banyak mengandung jebakan-jebakan yang melemparkan kita ke jurang kehidupan. Sering kali, jebakan-jebakan tersebut teramat halus hingga tidak disadari keberadaannya. Mereka akan mulai tersadar ketika penyesalan mulai menggigitnya.

Sebelum menyesali atas apa yang kita lakukan di media sosial, alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana bermedia sosial dengan sehat. Di sana terlalu banyak harum-harum mawar yang sebenarnya tumpukan sampah. 

Kita sering tergoda untuk melakukan apa pun di sana hingga tidak pernah tahu apa risikonya.

Nah, dalam dua tahun terakhir, saya menyelami berbagai pemikiran dari para filsuf untuk mengisi waktu senggang. Dalam sebuah lamunan yang tak karuan, mendadak terbetik pertanyaan lucu dalam pikiran saya: bagaimana jadinya kalau seorang filsuf bermain media sosial? Ah, itu akan luar biasa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun