Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apakah Hedonisme Membawa Kita pada Kebahagiaan?

30 Mei 2021   13:18 Diperbarui: 30 Mei 2021   13:32 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti kata Stuart Mill dalam otobiografinya, “Saya berpikir bahwa kebahagiaan seseorang hanya dapat dicapai dengan tidak menjadikannya sebagai tujuan langsung ... Dengan mengarahkan pada sesuatu yang lain, mereka menemukan kebahagiaan di sepanjang jalan ...”

Ironi hedonisme ketiga adalah penyangkalan bahwa Tuhan Maha Adil. Ah, mungkin saya berpikir cukup jauh hingga ke titik ini, tapi alangkah indahnya seorang penulis tidak menyembunyikan kebenaran.

Secara tidak langsung, percaya akan konsep hedonisme—bahwa kebahagiaan hanya bisa didapatkan dari usaha pengejaran materialistik—sama dengan menyangkal sifat Tuhan Yang Maha Adil.

Sekarang saya luruskan sejenak. Orang-orang hedonis percaya bahwa kebahagiaan harus selalu dikejar lewat pencarian di luar diri sendiri. Jika demikian adanya, mereka telah menyalahi sifat Tuhan Yang Maha Adil.

Bayangkan orang-orang yang sejak lahir dalam kondisi miskin. Mereka tidak akan punya upaya yang kuat untuk menjadi bahagia, sebab jangkauan mereka untuk meraih kekayaan materi sangatlah minim. Duh betapa malangnya!

Dan bayangkan juga orang-orang yang difabel sejak lahir. Mereka lebih tidak berdaya daripada orang miskin.

Jadi apakah mungkin orang-orang seperti mereka mendapatkan kebahagiaan? Jika diukur dalam konsep hedonisme, mereka tidak punya kesempatan besar untuk menjadi bahagia. Betapa mengerikannya andai kata kemungkinan itu adalah kenyataan.

Pada intinya, Pembaca, kita tidak perlu berusaha habis-habisan untuk menjadi bahagia. Kebahagiaan itu selalu ada dalam jangkauan kita, sebab ia ada dalam diri kita.

Seperti kata Viktor Frankl, kebahagiaan adalah efek samping. Saya tambahkan sedikit, “Segala pengalaman punya peluang untuk berefek samping pada kebahagiaan.”

Adalah sangat mungkin untuk menjadi bahagia dalam setiap penderitaan. Justru tanpa penderitaan, semua kebahagiaan kita tidaklah berarti apa-apa. Segala sesuatunya selalu ditakdirkan untuk menjadi seimbang.

Maka sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu poin penting lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun