Kisah seorang teman akan membuat poin ini sedikit jelas.
Beberapa waktu lalu, saya memerhatikan seorang teman yang sedang mengambil foto selfie. Saya kira itu hanya akan berlangsung beberapa menit, mungkin 3-5 menit.
Ternyata saya keliru, dia melakukannya selama hampir setengah jam! Oh apakah bumi sedang berhenti berputar?
Dia menekan tombol "potret" begitu sering, mungkin ratusan kali. Itu berarti dia telah mengambil foto selfie sebanyak ratusan foto! Saya tidak tahu pose macam apa yang dapat membuatnya puas. (Dan saya pun dapat menjawab keluhannya ketika dia sering kali berkeluh kesah tentang memori ponselnya yang selalu penuh).
Saya hanya membaca buku sembari diam-diam memerhatikannya. Saya merasa seperti seorang ilmuwan sosial yang sedang menguji kelinci percobaan.
Selepas berhenti berpose, dia memfokuskan pandangannya pada layar ponsel dengan serius. Saya dapat menyimpulkan bahwa dia sedang menyeleksi foto-foto tadi, karena satu jam kemudian, satu foto muncul di postingan Instagramnya.
HANYA SATU FOTO! Oh manusia, apakah dia satu-satunya? Saya yakin, tidak!
Inilah salah satu masalah terbesar dari tombol "suka" di media sosial: ia mendistorsi persepsi realitas kita.
Kebanyakan orang hanya mem-post hal-hal yang indah saja di media sosial, misalnya sepatu baru, ponsel baru, pacar baru, selingkuhan baru, kafe baru, tas baru, rumah baru, wajah baru, darah-daging baru, dan seterusnya.
Hampir jarang sekali orang-orang yang mem-post kemalangan, kemiskinan, kecerobohan, atau kebodohan dalam hidupnya.