Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Bulan Ramadan adalah Obat bagi Jiwa yang Lelah

16 April 2021   10:38 Diperbarui: 16 April 2021   10:44 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga menyembuhkan jiwa yang lelah | Ilustrasi oleh Ahmed Sabry via Pixabay

Bulan Ramadan menyimpan makna, pesan, dan nilai yang berharga. Namun, sebagian tidak tampak jelas ke permukaan. Beberapa di antaranya adalah harta karun yang masih harus kita gali untuk bisa mendapatkannya, atau setidaknya menyadarinya.

Meskipun bulan Ramadan hanya datang satu kali dalam satu tahun kalender Islam, bukan berarti harta karun itu hanya berlaku di bulan Ramadan kemudian hangus setelahnya. Justru, ini adalah panduan jitu untuk menarik tali busur sehingga panah yang kita lesatkan bisa melaju kencang.

Ternyata, menerapkan panduan ini tidaklah mudah, meskipun sederhana. Pandemi telah menemani Ramadan kita selama dua kali berturut-turut. Dan apa yang terjadi cukup menggelisahkan untuk disadari.

Pandemi telah hampir sempurna menyerang sisi kelemahan terbesar psikologis umat manusia: ketakutan akan hal yang tidak diketahui.

Kita dipaksa untuk duduk dalam ketidakpastian, menyaksikan perang informasi di platform mana pun, dan pada akhirnya dituntut untuk memilih informasi mana yang ingin dipercaya.

Perekonomian kacau. Pendidikan kehilangan arah. Kehidupan sosial dibatasi. Banyak di antara kita yang harus kehilangan pekerjaan, hak untuk memperoleh pendidikan, bahkan orang-orang yang dicintai.

Semua itu menimbulkan kekosongan dalam jiwa, perasaan di mana segala sesuatu tampak suram dan tidak berguna. Pikiran menjadi kacau karena rasa takut yang meningkat. Meskipun kita tahu bahwa rasa takut hanyalah bayangan, kita tetap melakukannya.

Kemudian apa yang terjadi? Kita lari dan menyibukkan diri guna memberikan makna dan harapan dalam kehidupan. Namun sayangnya, kita menjadi manusia yang berpusat bagaikan seekor hamster yang berlari di dalam putaran roda.

Beberapa dari kita berpusat pada uang. Orang-orang ini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mendapatkan uang. Rasa aman ekonomi menjadi prioritas demi memperoleh peluang dasar untuk bisa berbuat banyak dalam berbagai dimensi.

Sebagian lagi ada yang berpusat pada pekerjaan. Mereka menjadi "pecandu kerja" dengan mendorong diri untuk tetap produktif, bahkan rela mengorbankan kesehatan, hubungan, dan bidang-bidang penting lain dari kehidupan mereka.

Sebagian yang lain berpusat pada harta, kesenangan, bahkan musuh. Memang semua ini membuat kita menjadi sibuk. Kesibukan membuat kehidupan terasa bermakna. Namun, kita terlalu dangkal.

Pada akhirnya, kita menjadi candu. Kehidupan berjalan dengan tidak seimbang. Banyak dari kita yang kemudian mudah marah, tersinggung, kecewa, bahkan meributkan sesuatu yang sebenarnya sepele.

Semua itu adalah tanda dari jiwa yang lelah. Kita kelelahan. Oh, kita kelelahan.

Dan sekarang, kita berada di bulan Ramadan. Tentu, inilah waktu yang tepat untuk memulihkannya.

"Latihan menderita"

Bulan Ramadan bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus. Tentu unta dan ular jauh lebih mampu melakukannya ketimbang kita dalam hal itu. Tidak, berpuasa juga berarti menarik diri dari kesibukan dunia untuk menenangkan jiwa yang sudah kelelahan.

Tujuan puasa adalah mengadopsi pengendalian diri atas keinginan duniawi.

Menahan rasa lapar berarti juga berempati terhadap mereka yang menderita dengan masalah perutnya. Berpuasa adalah latihan yang sempurna untuk membangun kehidupan yang sederhana.

Menanggung rasa lapar adalah bentuk lain dari simulasi hidup berkekurangan. Tidak hanya berempati terhadap mereka yang sedang mengalaminya, tapi juga melatih diri sendiri jika suatu waktu kita mengalaminya.

Jika Anda tidak bisa memaksakan diri untuk menahan rasa lapar pada hari-hari biasa, bulan Ramadan bisa menjadi jalan keluar bagi Anda. Saya tahu, ada banyak keluhan tentang metode ini. Tapi, renungkanlah.

Memaksakan diri untuk menahan rasa lapar berarti latihan untuk menderita. Jika ini terdengar aneh, maka Anda telah terlampau jauh hidup dalam kemewahan. Dan jika suatu waktu Anda kehilangan semuanya, Anda tidak akan bisa bertahan.

Menurunkan standar rasa nikmat

Berpuasa, jika dilakukan dengan benar, akan mampu menurunkan standar rasa nikmat dari diri Anda. Artinya, Anda didorong untuk bisa menghargai sesuatu yang kecil, sesuatu yang selama ini kita anggap remeh, sesuatu yang selama ini kita tertawakan.

Ketika waktu berbuka tiba, sebutir kurma akan terasa sangat nikmat jika Anda benar-benar menghargainya. Tapi di hari-hari biasa, sebutir kurma adalah lelucon bagi Anda. Pizza adalah sesuatu yang Anda butuhkan.

Tapi, hidup punya kemungkinan yang tak terbatas. Ia bisa merenggut segalanya dari kita secara tiba-tiba. Dan jika standar rasa nikmat kita tidak tinggi, kita tidak akan begitu kecewa saat kehidupan sedang tidak baik.

Seperti yang dikatakan seorang pemikir, "Orang kaya sesungguhnya adalah mereka yang merasa cukup dalam keadaan kekurangan, mereka yang tersenyum saat kelaparan, mereka yang menangis dalam keberlimpahan."

Mengajarkan nilai berharga dari pengorbanan

Berpuasa juga mengajarkan kita tentang nilai dari pengorbanan. Bukankah di akhir bulan Ramadan kita diwajibkan membayar zakat? Bukankah bagi mereka yang sudah tidak mampu berpuasa diwajibkan membayar fidyah?

Nilai dari sebuah pengorbanan tidak didapatkan oleh mereka yang memberi dengan terpaksa. Ia datang dari rasa ikhlas tanpa pamrih. Dan apa yang paling mengagumkan?

Secara paradoksal, semakin banyak kita melepas justru membuat kita semakin banyak menerima. Memang terdengar janggal, tapi hidup memang anomali.

Jika Anda ingin laba perusahaan Anda meningkat, Anda juga harus meningkatkan pengorbanan Anda, baik dari segi modal, pikiran, maupun produktivitas.

Jika Anda ingin mendapatkan kepuasan yang lebih besar terhadap sesuatu, Anda juga harus meningkatkan pengorbanan Anda untuk sesuatu yang dimaksud.

Jika Anda ingin lebih dihargai, Anda juga harus meningkatkan rasa menghargai Anda kepada orang lain.

Dan kemudian Anda bertanya kepada saya tentang kaitan hukum paradoks tadi dengan pemberian zakat. Saya hanya mengangkat bahu. Tapi, itulah jawabannya: saya tidak tahu.

Jaminan itu datang dari janji Allah. Jadi, biarkan hukum alam berjalan apa adanya. Bukankah kekuatan yang gaib lebih dikagumi?

Menarik diri dari kesibukan duniawi

Bulan Ramadan menyediakan waktu dan ruang yang lapang untuk tugas keagamaan. Sebagian besar dari kita akan rutin melaksanakan tilawah Al-Qur'an dan salat berjamaah. Tempat-tempat pusat keagamaan Islam kembali ramai.

Meskipun hal tersebut bagus, tapi tidaklah cukup. Kita harus mulai menyisihkan waktu untuk merenungkan ayat-ayat tersebut. Salat pun tidak sekadar dilaksanakan, tapi dipahami makna dari setiap gerakan dan bacaannya.

Karena itulah harta karunnya. Sekadar membaca dan melakukan adalah kebiasaan pada tingkatan anak-anak. Mereka masih belum mampu untuk menggali harta karun tersebut. Jadi, berapa umur Anda?

Nama lain dari Al-Qur'an adalah Al-Hudaa, yang artinya petunjuk, panduan yang mencerahkan manusia dalam menjalani kehidupan. Jika Anda hanya sekadar membaca dan tidak mengerti apa makna ayat tersebut, Anda telah melewatkan fungsi fundamental dari Al-Qur'an.

Maka jika Ramadan memberi ruang untuk kita banyak mengaji, kita diberi kesempatan besar untuk mengobati jiwa yang lelah. Sungguh, kita sedang kelelahan.

Hargai teknologi, lalu hentikanlah

Karena bulan Ramadan mengajak kita untuk merenung dan mengevaluasi diri, maka inilah saatnya untuk kita beristirahat dari segala aktivitas yang mengacaukan kehidupan sehari-hari kita sebelumnya.

Dan teknologi banyak menjadi sumber utama kegelisahan kita.

Bukan berarti kita harus melumpuhkan aktivitas kita terkait teknologi, tapi kita harus menggunakannya dengan bijak dan secukupnya. Bahkan ini tidak hanya berlaku di bulan Ramadan. Tapi karena banyak kegiatan spiritual di sini, kita mendapatkan momentumnya.

Gunakan WhatsApp Anda untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga, dapatkan berita yang berkualitas dari internet dan/atau televisi, gunakan ponsel untuk mendengarkan murrotal Al-Qur'an.

Dan ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi, segera tarik diri Anda dan luangkan waktu ekstra untuk menjalin hubungan dengan Sang Maha Pengasih.

"... Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (Surah Ar-Ra'd ayat 28)

Meningkatkan kesadaran diri

Ketika kita membatasi asupan makanan dan minuman, kepekaan indra kita meningkat. Ini memungkinkan kita untuk lebih terhubung dengan diri kita sendiri, mulai dari ucapan, pikiran, hingga gagasan kita.

Dengan kata lain, berpuasa dapat meningkatkan kesadaran diri kita. Dan apa yang luar biasa? Kesadaran diri sangat membantu kita dalam berpikir jernih. Dan pikiran yang jernih akan melahirkan keputusan-keputusan yang lebih baik.

Seperti yang kita tahu, kita selalu memilih setiap saat.

Meskipun banyak amalan-amalan luar biasa, menurut saya, kita seharusnya tidak membebani diri kita sendiri dengan daftar yang panjang. Karena jika kita terbebani, Ramadan bukan lagi obat bagi jiwa yang lelah.

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur." (Surah Al-Baqarah ayat 185)

Ingat, agama itu memberikan kenyamanan. Jika tidak, berarti Anda keliru memahaminya.

Kita bisa fokus pada satu atau dua area yang pokok untuk diperbaiki dan dipegang teguh. Pertimbangkan untuk membuat komitmen dalam menghentikan satu perbuatan buruk yang mengganggu hidup kita.

Dan kemudian, mulailah melakukan satu perbuatan baik secara konsisten. Bagaimana langkah pertama yang efektif?

Menyesal; itulah jawabannya. Anda tidak akan bisa memperbaiki diri tanpa pertama-tama merasa menyesal atas kekeliruan Anda sendiri. Jika tidak, Anda akan tergoda untuk mengulanginya di kemudian hari.

Salah satu masalah terbesar dari Ramadan adalah apa yang terjadi segera setelahnya. Meskipun ibadah umat muslim meningkat tajam ketika Ramadan, kebiasaan itu sering luntur kembali selepas Ramadan berakhir.

Saya mengerti, menjaga kebiasaan baik tidaklah mudah. Tapi, pahamilah betul-betul mana yang baik dan buruk. Setidaknya hal tersebut dapat mendorong Anda untuk konsisten berbuat baik. Dan jika Anda melanggar, Anda dilanda penyesalan.

Dan satu catatan saya: jika momentum Ramadan masih belum mengubah sifat dan karakter Anda menjadi lebih baik, saya ragu Anda menjalaninya dengan benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun