Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Darurat Ekoliterasi

10 April 2021   16:09 Diperbarui: 10 April 2021   16:24 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita menyiapkan seribu sendok di saat yang kita butuhkan hanyalah satu pisau | Ilustrasi oleh JuergenPM via Pixabay

Pada akhir 2019, World Meteorological Organization (WMO) menyatakan bahwa Bumi telah berada dalam kondisi terpanasnya dalam sejarah. Hal ini diperkirakan akibat tingginya gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama adanya pemanasan global. 

Namun, pandemi seakan menjadi hadiah terbaik bagi alam. Bagaimana tidak, alam berhasil lepas dari belenggu manusia, "sang pembunuh" (yang durhaka).

Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih merilis bahwa emisi karbon dioksida dunia tercatat mengalami penurunan hingga 17% akibat karantina Covid-19 yang diterapkan di berbagai negara. Haruskah kita menyambutnya? Justru ini sangat menakutkan!

Pada mulanya, pandemi memang memberikan dampak positif bagi lingkungan. Ironisnya, seiring pandemi mendekati "akhir", pilar lingkungan malah semakin terabaikan, karena pembangunan lebih diprioritaskan untuk mengejar sektor ekonomi yang telah hancur sebelumnya. 

Bukankah ini lucu? Kita seperti melakukan tambal-sulam yang tiada guna. Bahkan, kerusakan lingkungan diduga akan lebih parah karena setiap negara akan berambisi dan dibutakan oleh pembangunan ekonomi secara besar-besaran. 

Padahal, apa jadinya perekonomian tanpa lingkungan yang lestari? Dan apa jadinya kelengkapan fasilitas kesehatan tanpa lingkungan yang bersih? Ini seperti kita menyiapkan seribu sendok, padahal yang kita butuhkan hanyalah satu pisau.

Jalan keluar dari krisis dan bencana lingkungan hidup ini hanya bisa dicapai dengan perubahan radikal dalam pemahaman manusia, dalam cara berpikir dan penilaian manusia. 

Ini tentang sebuah perubahan paradigma mengenai cara berpikir tentang hakikat alam semesta dan perubahan radikal dalam perilaku manusia terhadap alam semesta.

Kita bisa saja menciptakan ratusan jenis mesin daur ulang sampah plastik. Tapi jika penggunaan plastik tidak kunjung menurun, usaha itu hanya akan menjadi "tumpukan sampah" lainnya yang busuk dalam sejarah. Ini benar-benar tidak efektif. 

Apalagi di masa pandemi, orang-orang cenderung menjadi lebih konsumtif akibat online shop yang notabenenya meninggalkan banyak sampah plastik. 

Jika kita ingin mempunyai badan langsing sedikit kalori, cara yang paling efektif bukanlah dengan membeli banyak obat dan alat pelangsing tubuh, melainkan dengan menyadari betapa pentingnya menerapkan gaya hidup sehat.

Kerusakan lingkungan berhubungan erat dengan masalah ekonomi. Orang-orang kaya tidak mau melewatkan setiap kesempatan untuk terus-menerus memperkaya diri, misalnya dengan mengeksploitasi sumber daya alam seperti minyak bumi, batu bara, dan mineral di daerah-daerah yang rentan. Namun, kemiskinan juga menjadi penyebab ekosistem dimanfaatkan dengan cara yang tidak berkelanjutan.

Dan lagi, krisis lingkungan ini bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. 

Akibatnya, manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seutuhnya.

Masalahnya, hal semacam ini sering terlalu besar untuk dipertanyakan kepada setiap individu. Apa yang bisa saya lakukan untuk pendayagunaan hutan Kalimantan di masa pandemi, misalnya? Bukan begitu cara manusia berpikir. Otak manusia tidak didesain untuk berpikir begitu. 

Manusia adalah makhluk individualis, memikirkan diri sendiri, dan suka bermain-main. Setiap usaha untuk menyelamatkan manusia dan Bumi yang kita tinggali ini, haruslah memerhatikan sifat tersebut. Mari, saya tunjukkan sebuah contoh berikut ini.

Seandainya pemerintah menetapkan pajak pelestarian lingkungan, pasti banyak yang akan memprotesnya, dengan mempertanyakan apa yang dimaksud dengan lingkungan, dan kebijakan politik lingkungan apa yang terbaik dan terpenting? 

Mungkin sebagian orang akan setuju, tapi tetap akan ada yang memprotes, misalnya spesies-spesies apa yang lebih penting untuk dilestarikan? 

Saya tidak menyukai serigala, kata para peternak domba. Dan orang-orang perkotaan akan keberatan membayar pajak untuk pelestarian sekelompok badak yang memang tidak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan mereka.

Namun, seandainya setiap wajib pajak dapat memilih satu sampai delapan spesies untuk menyalurkan pajak lingkungannya, maka masuklah unsur pendapat pribadi dan sukarela dalam hal ini. Jadi, orang akan bisa berpendapat, dan merasa dirinya penting.

Sayangnya, saya mendengar sebuah keberatan. Apakah orang-orang akan benar-benar peduli dengan alam? 

Ada terlalu banyak kebebasan di dunia ini, terlalu banyak hak bagi setiap individu, terlalu banyak daya beli bagi si kaya, terlalu banyak tuntutan bagi si miskin, dan terlalu sedikit tanggung jawab atas sumber daya alam. 

Ada beribu aspek kehidupan yang menyita perhatian orang sebelum mereka sempat memikirkan hal yang aneh seperti kepentingan lingkungan dan planet ini.

Lihatlah apa yang ditulis di portal berita online, media sosial, bahkan tayangan di berbagai media elektronik, mayoritas hanya menayangkan tentang olahraga, perjudian, perselingkuhan, pembunuhan, gosip selebriti, seks, gaya hidup kaum sultan. 

Inilah yang dibicarakan orang kebanyakan. Di seputar inilah orang-orang berkumpul. Itulah yang mereka inginkan dan pedulikan. Kita telah menjauhkan diri dari alam tempat kita hidup dan mengabaikan seluruh eksistensi. 

Sudah sebegitu jauh hingga anak-anak lebih bisa menyebutkan nama-nama pemain film roman picisan ketimbang menyebutkan jenis-jenis burung.

Ke mana arah semua ini? Dan yang terpenting, mengapa orang-orang lebih tergila-gila dengan jumlah followers Instagram ketimbang jumlah pohon yang telah ditanamnya? 

Saya berpendapat bahwa skandal ini terjadi akibat paradigma kita yang keliru dalam menempatkan diri dengan alam. Media sosial dan media jurnalistik telah berpengaruh banyak terhadap pembelokan paradigma ini. 

Mereka menyerangnya langsung menuju akar: paradigma masyarakat. Karenanya, hanya dengan cara manusiawilah kita mungkin dapat menyelamatkan lingkungan yang pada dasarnya merupakan aspek paling fundamental.

Kita hanya perlu menggeser sebagian dari fokus orang-orang pada gosip selebriti dan obsesi menjadi tenar ke masalah lingkungan hidup, dan sejumlah spesies flora dan fauna yang terancam punah. 

Jadi, mereka bisa terus berbincang seperti sediakala, tapi sekarang bisa sedikit berbincang tentang upaya pengurangan sampah plastik atau terancamnya burung merak; tidak hanya tentang Liverpool atau Barcelona.

Bagaimana ini bisa terwujud? Satu persyaratan untuk upaya ini adalah adanya sebuah katalog lengkap terkait kerusakan lingkungan yang dapat diakses dengan mudah di internet. Ya, itu terlalu subjektif. 

Tapi pada intinya, kita tanamkan ekoliterasi dalam pembicaraan setiap orang melalui teknologi yang ada. 

Ekoliterasi adalah suatu gerakan yang dibutuhkan dalam upaya menciptakan kepekaan terhadap pelestarian lingkungan. Ini diuntungkan dengan semakin banyaknya orang yang melek teknologi di masa pandemi.

Ekoliterasi merupakan keadaan melek lingkungan, yang berupaya untuk mengenalkan dan memperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya ekologis global.

Dengan pemahaman ekoliterasi, maka secara alami akan menggeser persepsi selama ini bahwa kebutuhan untuk melindungi ekosistem bukan hanya dalam hal keyakinan yang dipegang oleh seseorang atau pihak otoriter, akan tetapi hal ini adalah sebuah sistem keharusan yang memang wajib dipertahankan untuk kelanjutan kehidupan manusia. 

Pendekatan yang baru terhadap alam, dengan tidak melakukan dominasi dan kontrol atas alam, kemudian sikap hormat dan kerja sama serta dialog dengan alam diharapkan dapat menangkap hakikat, keutuhan, dan keindahannya. 

Dengan demikian, terciptalah perilaku yang mengutamakan dominasi menuju nilai, mengutamakan konservasi, dan menghargai antara alam dengan manusia. 

Dengan cara pandang seperti ini, kita dapat melahirkan kesadaran ekologis dalam arti terciptanya kesadaran ikut berpartisipasi dalam kesatuan kosmos.

Lagi-lagi saya mendengar sebuah keluhan: bagaimana ekoliterasi dapat disebarluaskan dan dimaknai sungguh-sungguh? 

Perhatikan keajaiban film-film picisan yang dapat menyita jutaan penonton dalam penayangan pertamanya! Mengapa tidak kita buat sebuah film yang berkampanye akan pentingnya ekoliterasi? 

Masalahnya, siapa yang rela membayar tiket bioskop untuk menonton film semacam itu? Tampaknya ini menjadi begitu mudah jika film yang dimaksud dikemas secara menarik dan diperankan oleh para selebriti yang banyak diidolakan. Ini baru langkah pertama.

Mengapa tidak kita terapkan "berita wajib" dalam semua media tentang kerusakan lingkungan yang sedang terjadi beserta daftar ancamannya terhadap kehidupan layaknya "berita wajib" yang memuat jumlah kasus Covid-19? 

Mengapa tidak kita ajak terlebih dahulu para publik figur untuk peduli dengan ekoliterasi, sebab merekalah yang akan dengan mudah memancing perhatian masyarakat? Mengapa tidak kita laksanakan program penanaman pohon pada lahan gundul yang dipelopori para publik figur? 

Hampir semua orang akan bersedia menyumbangkan sepuluh ribu rupiah, tanpa pikir panjang, jikalau kampanye lingkungan ini dilakukan oleh para idolanya. Bahkan beberapa orang akan bersedia untuk memberi lebih banyak. Ini baru langkah kedua.

Saya sangat mendukung pihak berwenang untuk menciptakan sebuah aplikasi bernama "Ekoliterasi" yang ramah pengguna untuk mengetahui tingkat kerusakan lingkungan secara update disertai akibat dan langkah-langkah dalam penanggulangannya. 

Jika ekoliterasi telah tertanam dalam paradigma setiap orang, ini akan menjadi langkah bersama kita untuk menciptakan dunia yang sehat, lingkungan yang lestari. Kita lebih membutuhkan tindakan preventif ketimbang tindakan represif. Sungguh.

Mungkin bisa terkesan bahwa saya beraliansi dengan setan. Namun, sebenarnya saya hanya ingin beraliansi dengan sifat dasar manusia melalui teknologi yang ada. 

Menurut saya, bila apa yang telah diperbincangkan tadi bisa mendapatkan sebuah muatan baru, maka biarkanlah bentuknya tetap seperti semula.

Bayangkan betapa menyenangkannya bila suatu hari orang-orang membaca berita utama di berbagai media dengan tajuk, "Seorang tuan tanah di Garut menghibahkan sebagian lahannya untuk ditanami pepohonan yang kaya oksigen." 

Atau, "Seorang penerima pensiun minimum tetap memberikan bantuan mingguannya untuk upaya pelestarian lingkungan," atau, "Inilah daftar nama orang-orang yang telah berpartisipasi dalam upaya pelestarian burung jalak bali." 

Bayangkan betapa harunya jika konten media sosial dipenuhi upaya para remaja untuk melestarikan lingkungan hidupnya.

Dan orang tentu berharap untuk mendapatkan sesuatu. Mereka senang mendapatkan sesuatu yang konkret yang bisa dipajang di dinding atau di atas rak vas bunga. 

Barang siapa telah memberikan sumbangan untuk pelestarian lingkungan akan mendapatkan sebuah dasi kupu-kupu atau topi dengan warna tertentu.

Kemudian percakapan dan pujian terus berlanjut, ini hal yang bagus, sifat dasar manusia yang sehat dan normal bisa tersalurkan. Atau, orang bisa duduk di ranjangnya sambil chattingan satu sama lain: Tahukah kamu bahwa aku baru saja mendapatkan ikat pinggang karena telah menyumbangkan sedikit tabunganku untuk pelestarian burung jalak bali? 

Hal ini bisa jadi bahan percakapan saat makan siang atau dalam keheningan malam yang gelap.

Jika kita ingin melakukan sebuah perubahan radikal demi lestarinya lingkungan hidup, maka berhentilah memotong daun-daunnya dan mulailah mengangkat langsung dari akarnya: paradigma kita yang merupakan sumber dari setiap perilaku dan tindakan kita. 

Bukankah ini bagus? Kalau orang telah melakukan sebuah kebodohan, maka jangan sekadar berdiam diri menyesali perbuatan itu. Tidak, tapi bangkitlah dan perbaiki segala yang telah dirusak. 

Duh, saya mulai mencintai manusia lagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun