Sang penggembala mengabaikan hinaan itu dan bergegas mempersiapkan kepergiannya. Dia menyeimbangkan sedikit baju-baju yang dibawanya dengan dibalut kain lusuh pada punuk untanya.
"Lihat, dia berusaha kabur dari kasusnya sendiri," celetuk pria kekar kepala tiga.
Sang penggembala mengembuskan napas berat. "Ini saatnya bagi manusia untuk menentukan tujuannya. Ini saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapan tertingginya, mencari siapa yang membawanya ke sini."
"Wahai penggembala yang miskin, bergegaslah untuk mencari sumber air karena kau sudah sangat mabuk kepayang."
"Kami pun tak sudi membagikan persediaan air kami untuk seorang pembunuh," ujar kawanannya beriring tawa menggelegar bak guntur di langit suram.
"Tak akan sulit untuk mencari," kata sang penggembala, "sebab tanah tandus ini adalah tanah subur pada dahulu kala. Masih ada sisa dari kesuburannya. Tetapi pada suatu ketika, tanah ini akan total kering menjadi miskin dan kelelahan. Tidak ada lagi pohon tinggi yang akan bisa tumbuh darinya."
"Aku rasa orang ini baru saja meminum air kencing dari untanya," tutur pria dengan kulit sedikit merah. Rombongan kaya raya itu mulai bersiap untuk kembali menaiki kudanya yang banyak berotot.
"Duh, manusia!" seru sang penggembala dengan nada resah, sekaligus tegas membatalkan niatnya untuk menaiki unta itu. "Sekarang sudah hampir tiba, saat di mana manusia tak mampu lagi melesatkan anak panah kerinduannya. Dan tali busur itu juga sudah lupa bagaimana untuk berdesing!"
Semua pria dalam rombongan itu menatap satu sama lain, seakan mengirimkan isyarat bahwa masing-masing dari mereka tak mengerti.
"Aku katakan pada kalian, Tuan-tuan, seseorang harus punya kekacauan dalam dirinya untuk melahirkan bintang yang menari. Dan semua orang masih tetap kacau; kekacauan itu tumbuh dalam diri kita."
"Berhenti mengoceh, wahai penggembala. Kau sudah sangat mabuk terkena fatamorgana!"