Sementara itu, Sofyan Sa’id, pengamat kebijakan publik, menilai persoalan utama Polri justru ada di krisis moral dan kultur kekuasaan. “Arogansi aparat adalah tanda institusi yang kehilangan legitimasi moral. Polisi yang tidak berempati akan selalu menakuti rakyat, bukan melindungi,” ujarnya.
Ia menyerukan agar reformasi tidak berhenti di tataran struktur atau regulasi, melainkan menyentuh karakter dan spiritualitas aparat. “Salat berjamaah tidak berarti bila hati masih serakah dan tangan masih represif,” katanya menohok.
Publik Tak Lagi Sabar: Reformasi Harus Sekarang
Moderator Edy Mulyadi menegaskan bahwa dialog ini bukan sekadar akademik, melainkan seruan rakyat terhadap institusi yang semakin tak terkendali.
“Polri hari ini bukan gagal karena tidak tahu, tapi karena tidak mau berubah. Reformasi sudah terlalu lama jadi jargon. Kalau dibiarkan, Polri akan jadi oligarki berseragam,” ucap Edy lantang.
Ia juga mengingatkan bahwa pembentukan Komite Reformasi Polri yang digagas pemerintah berpotensi gagal bila diisi oleh figur-figur lama yang pernah menjadi bagian dari masalah. “Jangan serahkan pembaruan Polri pada orang-orang yang dulu diam saat rakyat dikriminalisasi,” ujarnya, menyinggung nama-nama seperti Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra yang disebut dalam wacana publik.
Seruan Bersama: Reformasi Bukan Retorika
Dari forum ini, muncul benang merah yang tegas:
Reformasi Polri harus dipercepat dan diawasi publik, bukan dikendalikan elite.
Penataan ulang kelembagaan mutlak diperlukan — dengan pemisahan fungsi intelijen, penegakan hukum, dan keamanan publik.
Pengawasan sipil permanen melalui parlemen dan lembaga independen harus dibentuk, bukan sekadar slogan.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!