Dialog kebangsaan bertajuk “Reformasi Polri: Pengayom Rakyat atau Pelindung Oligarki” yang digelar oleh LiraNews.com di Gedung Gajah, Tebet, Jakarta Selatan, pada Senin (14/10), menjelma menjadi forum kritik paling tajam terhadap arah reformasi kepolisian pasca dua dekade reformasi.
Di tengah gagasan pemerintah membentuk Komite Reformasi Polri, para narasumber menegaskan: reformasi Polri sudah terlalu lama macet — dan kini waktunya bertindak cepat, bukan lagi berdiskusi basa-basi.
Reformasi yang Mandek dan Keberanian yang Hilang
Komjen (Purn) Pol Oegroseno, mantan Wakapolri, mengawali dengan peringatan keras: “Reformasi Polri seharusnya selesai dalam 10 tahun. Tapi sampai hari ini, kita justru mundur.”
Menurutnya, kegagalan itu bukan sekadar teknis, melainkan struktural dan moral. Ia menyebut Polri kehilangan roh pengayoman dan justru terperangkap dalam jejaring kekuasaan dan korporatisme. “Polisi sibuk menjaga kekuasaan, bukan menjaga rakyat,” ujarnya disambut tepuk tangan.
Oegroseno juga menyinggung munculnya praktik penyelidikan ilegal seperti SP2 lidik yang tidak dikenal dalam KUHAP. “Polisi membuat hukum sendiri, untuk melindungi diri sendiri. Ini berbahaya,” tegasnya.
Desakan Pengawasan Sipil dan Restrukturisasi Kelembagaan
Dr. Selamat Ginting, pengamat militer dari Universitas Nasional, menilai akar masalah ada pada desain kekuasaan. “Selama Polri berada langsung di bawah Presiden, tidak akan ada kontrol sejati. Kita butuh civilian oversight yang nyata, bukan simbolik.”
Ia mengusulkan restrukturisasi kelembagaan dengan menempatkan Polri di bawah Kementerian Keamanan Publik, yang terpisah dari politik praktis namun bertanggung jawab kepada rakyat melalui parlemen.
“Jangan biarkan Polri menjadi superbody. Dalam demokrasi, tidak ada lembaga tanpa pengawasan,” kata Ginting, mengingatkan ancaman state within a state yang kian terasa dalam relasi Polri–politik–bisnis.
Krisis Moral dan Jarak dengan Publik