Surabaya, Oktober 1945. Suasana kota tegang bagai bom waktu. Usai kekalahan Jepang, kekuatan revolusi Indonesia sedang diuji dengan kembalinya Belanda (NICA) yang membonceng Sekutu. Pemuda-pemuda Surabaya, dipimpin oleh sosok karismatik Soetomo atau yang kelak dikenal sebagai Bung Tomo, sudah siap bertaruh nyawa. Namun, Bung Tomo menyadari sesuatu: perlawanan fisik saja tidak cukup. Mereka membutuhkan landasan yang lebih kuat, sebuah legitimasi yang akan mengubah semangat membara itu menjadi Jihad Fisabilillah (perjuangan di jalan Allah).
Dalam situasi genting itulah, Bung Tomo melakukan sebuah langkah strategis yang menentukan. Ia tidak langsung ke studio radio. Sebelum mengumandangkan takbir, ia terlebih dahulu mencari sumber kekuatan spiritual yang menjadi jiwa perlawanan rakyat Jawa Timur: Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) di Tebuireng, Jombang.
Perjalanan Mencari Legitimasi: Dari Surabaya ke Jombang
Berdasarkan kajian historis (Repository UPI, 2019), Bung Tomo bersama beberapa tokoh pemuda lainnya melakukan perjalanan dari Surabaya ke Jombang. Tujuannya satu: meminta restu dan dukungan dari Mbah Hasyim, pimpinan ulama yang kharismanya tak terbantahkan. Di mata rakyat, khususnya kalangan santri, fatwa Mbah Hasyim adalah hukum yang harus ditaati.
Pertemuan itu digambarkan penuh khidmat. Bung Tomo, dengan nada hormat, menyampaikan maksudnya. Ia menjelaskan situasi Surabaya yang memanas, kesiapan pemuda untuk melawan, dan memohon agar Mbah Hasyim memberikan wejangan serta legitimasi keagamaan untuk perjuangan mereka.
Jawaban Bijak Sang Mahaguru: “Tunggu Kedatangan Ulama Jawa!”
KH. Hasyim Asy’ari, dengan kearifannya yang mendalam, mendengarkan dengan saksama. Beliau memahami betul urgensi dan gelora pemuda. Tetapi, takut salah, beliau tidak buru-buru mengeluarkan paparan. Ada sebuah tahapan.
Kiai Hasyim, tidak hanya meminta untuk menunggu Kiai Abbas, tetapi memprakarsai konsolidasi ulama se-Jawa untuk menanggapi perkembangan genting. Hal ini dipaparkan dalam sumber sejarah yang diambil dari Repository UPI. Faktanya, semangat pembelaan yang dilakukan di Surabaya tidak hanya berada pada perhatian kalangan Nahdliyin Jawa Timur. Bahkan, hal ini juga mampu mendorong semangat para ulama dari berbagai daerah untuk bersatu dalam menghadapi penjajahan.
Dalam berbagai catatan sejarah, Kiai Hasyim diduga memberikan isyarat atau jawaban yang intinya adalah: “Bersabarlah.”. Kita perlu mengumpulkan kekuatan dan kebulatan tekad seluruh ulama Jawa. Tunggu kedatangan Kiai Abbas dan tokoh-tokoh lainnya dari Cirebon!”
Kiai Abbas Abdul Jamil adalah Pengasuh Pesantren Buntet, Cirebon, dan seorang ulama besar yang sangat dihormati. Ia adalah salah satu murid utama KH. Hasyim Asy’ari dan dikenal memiliki komitmen perjuangan yang sangat kuat. Penantian ini bukanlah eksistensi keraguan, tapi taktik politik-keagamaan yang cerdas. Mbah Hasyim ingin mendesakkan supaya perlawanan di Surabaya didukung oleh kekuatan ulama se-Jawa, sehingga berkembang front persatuan yang luas dan padat.
Peran Spiritual dan Fisik Kiai Abbas dalam Pertempuran