Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan Cuma Artis atau Aldi Taher Aja yang Bisa Nyaleg, Tukang Somay Juga Bisa

31 Mei 2023   09:05 Diperbarui: 31 Mei 2023   09:13 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampanye sudah tiba, kok banyak artis nyaleg ya?
Sebenarnya apa yang mereka tuju?
Apakah penghasilan mereka kurang?
Atau bener-benar datang dari sebuah panggilan?

Ada yang lucu di kampanye tahu ini, dia adalah Aldi Taher mantan penyanyi, dan aktor yang sekarang ikut mencalonkan diri menjadi anggota legeslatif. Tidak tanggung-tanggung pencipta lagu "Nissa Sabyan" ini ikut Nyaleg dengan dua bendera partai yang berbeda sekaligus, yaitu Partai Bulan Sabit dan Partai Perindo. Kini Ia bertingkah konyol di media sosial dengan lagunya yang bikin bingung sendiri. Setidaknya melalui tokoh kelakuan nyelneh ini, Aldi Taher telah membuat sebuah trobosan, walaupun berbeda partai tetapi idiologi kocaknya tetap terjaga. 

Dia menjadi orang pertama yang memegang prinsip ini, pegang dua partai untuk mengajukan diri menjadi calon legeslatif sekaligus mempertahankan jadi dirinya. Ia mempersatukan kita semua di kolom media masa dengan guyon dan canda. Entah sebenarnya yang sengaja ngelawak itu siapa, Aldi Taher atau dua partai yang diambilnya. Ini adalah kampanye paling lucu sepanjang sejarah yang membuat kita sedikit lepih pintar untuk memilih, mau milih tukang ngelawak atau mau memilih pemimpin yang serius. Tapi sayangnya serius dan ngelawak terkadang beda tipis, setipis janji-jani kampanye kalangan artis.

Kampanye adalah satu cara untuk mendapatkan perhatian masyarakat. Kampanye tidak semerta-merta berjalan, tanpa adanya audien yang menyaksikan atau terlibat sebagai partisipan. Akan tetapi bagaimana caranya agar sebuah tujuan dapat dilihat oleh orang banyak? 

Bagaimana caranya agar orang yang banyak ini bisa melihat bagian dari tujuan hidupnya di figur yang akan mereka pilih nanti? Karena memilih berarti menggantungkan nasib. Dan memilih berarti telah menentukan hidup kita di tangan orang yang kita pilih. Dan siapa sangka jika sesosok idola yang selama ini sering terlihat di televisi mendadak muncul dengan bendera partainya masing-masing. Lantas akankah kita memilih idola itu dengan begitu saja?

Sudah bukan barang yang aneh jika mendengar artis mendadak nyaleg. Ada sejumlah nama pemimpin yang dahulunya artis kondangan, salah satunya dari kalangan musisi seperti Pasha atau Sigit Purnomo Syamsuddin Said yang menjabat sebagai wakil wali kota Palu, ada juga yang berangkat dari seorang aktor seperti Deddy Mizwar yang pernah menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Barat, dan malahan ada yang berasal dari budayawan seperti Almargum Enthus Susmono yang memimpin kota Tegal selama satu preode. Sekarang muncul nama seperti Melly Goeslow yang menggemparkan penggemarnya, Ia mendadak ikut menjadi salah satu artis yang terdaftar. 

Sudah beberapa tahun hal serupa terjadi, dan kenapa kita masih memandang heran? Padahal dalam ruang demokrasi yang kompleks ini, bukan hanya Caleg saja yang dipertanyakan kridibelitasnya tetapi juga kita sebagai partisipan. Hanya saja, siapa yang mau bertanya untuk diri sendiri?

Kita kerap lengah dalam memilih wakil-wakil rakyat. Lengah yang dimaksud adalah kurang persiapan, tidak punya tujuan, dan tidak tahu mau milih siapa. Kesadaran akan tanggung jawab memilih kadang kerap diabaikan. Padahal satu suara menentukan semuanya, untuk lima tahun yang akan datang. 

Entah, mungkin karena kita ogah memahami politik, atau karena kita kurang menyimak pelajaran Kewarganegaraan di sekolah dahulu. Alhasil sejumlah kasus golput masih saja ditemui pada pemilihan preode tahu lalu. Sekarang bukan malah kita kembali mengukang hal itu, justru kita harus berbenah. Mau artis atau bukan, siapapun yang mencalonkan diri harus sama-sama kita ketahui. Literasi politik menjadi barang yang wajib untuk di konsumsi oleh kita masyarakat pemilih. Agar kita bisa menentukan masa depan untuk kita sendiri, dan masa depan untuk orang banyak.

Artis atau bukan yang mencalonkan diri itu bukan hal aneh lagi. Mereka sama-sama rakyat, dan mereka pula punya hak untuk memilih dan dipilih. Begitu juga dengan kita saat ini, mungkin saat ini Anda adalah orang yang memilih tapi barang kali jika nasib bertiup dari timur ke barat, Anda bisa juga menjadi yang dipilih. Di negara demokrasi ini, kita semua adalah satu, dan yang satu ini ialah untuk kepentngan bersama. Penting bagi seorang pablik figur untuk berkontribusi terhadap tanah leluhurnya ini, jika mereka telah siap dan memenuhi syarat sebagai orang yang dipilih oleh rakyat. 

Siapa saja boleh bilang, "saya merasa terpanggil untuk negeri" atau "saya merasa ingin memberikan hal yang lebih baik untuk bangsa". Bahkan seorang pedagang kaki lima pun boleh saja berucap seperti itu kemudian Ia menjadi calon legislatif. Jadi bukan masalah bukan, jika kalangan artis memiliki pandangan demikian. Asalkan para calon legeslatif yang berasa dari kalangan artis ini telah benar-benar memenuhi syarat sebagai Caleg.

Namun terkadang kepopuleran seseorang mengalahkan kemampuannya. Bahkan ada pemimpin yang sangat populer di media sosial, akan tetapi dalam wilayah kekuasaannya masih ada daerah yang tak terjamah kebijakan-kebijakannya. Ya mungkin bagi sebagian masyarakat yang jeli, tahu siapa yang dimaksud. Dan dalam tulisan ini tidak perlu mengatakan siapa. Lebih berusaha menyampaikan bahwa pandangan ini tindak menyerang individu, melainkan perbautannya saja. Kalau tingkah dan kelakuan Aldi Taher, silahkan Anda pikirkan sendiri. Mau dibawa serius atau jadi bahan guyonan saja. Yang jelas gak mungkin kayaknya kalau Anda memilih doi. Iya kan?

Dengan memilih calon legeslatif yang berasal dari kalangan artis tentunya akan lebih efesien untuk menghemat pergerakan. Kenapa demikian, jawabannya tentu karena kalangan artis sudah lebih dahulu dikenal dan punya nama. Coba bayangkan, selama ini mungkin saja ada kandidiat yang memiliki catatan histori pendidikan sagat bagus, lulusan S2 terbaik dan memiliki kridebelitas mempuni. Akan tetapi Ia tidak cukup terkenal dan kurang mendapatkan perhatian. Sementara setiap Calon legeslatif pasti mewakili pandangan dari setiap partai yang menaunginya.

Jadi lulusan S2 ini sebenarnya sudah paket komplit, akan tetapi tidak dapat memenangkan suara hanya karena kurang populer saja. Siapa yang bertugas mempopulerkan dirinya? Ya tentu saja jawabannya tim sukses. Tapi barang kali tim sukses memang sudah bekerja dengan baik, kitanya saja yang tidak bisa mendengar nama baru. Apalagi nama tersebut baru kita dengar sekali. Sehingga Caleg lulusan S2 yang mempuni tadi gagal mendapatkan perhatian. Berdeda dengan artis yang sudah terkenal. Memang akhirnya partai memakai kekuatan "terkenal" yang seolah-olah sangat instan ini. Ya, memang instan sih. Tapi bagaimana lagi, tujuan partai kan mencari perhatian. Dan selama ini kemana perhatian kita?

Kalangan artis pada dasarnya mendapatkan kepopuleran denga cara yang sulit. Mereka mendapatkan banyak pelajaran berarti dari kipraknya di dunia hiburan. Tidak ada yang tahu bagaiman nasib akan merubahan hari demi hari. Mungkin saja dahulu mereka memikiran berkarir sebagai seorang musisi, atau aktor ya karena tertarik dengan dunia tersebut. Apalagi umumnya mereka menekunin profesi semenjak muda. Dan pastilah perasaan anak muda jauh lebih berwarna. Iya tidak hanya ingin menjadi artis dan populer saja, tetapi juga ingin mendapatkan uang atau pengahasilan.

Sekarang mereka bisa mendapatkan semuanya melalu jalur menjadi calon legeslatif. Terkenalkan sudah, tinggal kaya dan punya wilayah. Ketimbang menjadi artis yang ancaman redupnya terus menghantui dari waktu ke waktu. Kurang lebih padangan orang umum seperti itu kan? Alhasil kepercayaan kepada kalangan artis sedikitnya mulai menurun. Eh, tapi kok bisa ya Pasha Ungu jadi wakil di Palu? Bukankah ini juga karena bantuan dari warga Palu yang memilihnya.

Kita seharusnya tidak perlu lagi menolak kalangan artis yang mau menjadi calon legeslatif, karena itu sudah menjadi hak setiap anak bangsa di negeri demokrasi ini. Yang harus kita tolak adalah perasaan malas untuk belajar dari masa lalu agar tidak masuk ke jurang yang sama. Perasaan malas kita untuk membicarakan politik dalam kehidupan sehari-hari, dan perasaan males kita untuk belajar memahami peran kita sendiri di bangsa ini. Kenapa kita harus mempelajari peran kita sendiri? Ya tentunya memang harus. Karena semua aspirasi yang disampaikan oleh calon legeslatif nanti, pastinya membawa nama kita sebagai rakyat. 

Dan sebagai wakil legeslatif yang terpilih harus tetap dipantau selama masa kerjanya. Tetapi kita terkadang lebih suka memantau orang lain kerja dari pada ikut bekerja. Ikut bekerja disini yang dimaksudkan adalah bahwa kira juga punya peran penting untuk nentukan siapa yang akan kita pilih. Masa iya, kita mau milih serangan fajar lagi? Masa iya, kita mau hanya mau milih karena ada idola kita sendiri? Abaikan kulitnya, lihatlah kualitasnya. Kurang dan lebihnya seperti itulah peran kita dalam memberi suara.

Seharunya bukan hanya partainya saja yang perlu dipertanyakan, tetapi juga kita sebagai partisipan. Adanya artis yang menjadi calon legeslatif adalah interprestasi dari kita sebagai pemberi suara. Partai pasti melihat dan menganalisa dahulu geografi politik yang ada, kenapa sebuah partai harus memutuskan artis A atau B maju ke meja pemilihan.

Ya, karena yang mereka melihat kita sebagai masyarakat yang menepati wilayah tersebut. Sementara jumlah kita yang bermukin di suatu milayah ini adalah target dari kemenangan suara mereka. Jadi manusia pertama yang harus belajar dan terus mengembangkan diri dalam menyelengarakan hajatan demokrasi ini ialah bukan dari orang-orang partai, dan bukan juga dari panitia penyelenggara, melainkan diri kita yang memberikan suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun