Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembang Api dan Imajinasi Kegembiraan Tahun Baru

2 Januari 2022   12:57 Diperbarui: 2 Januari 2022   18:35 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kembang api | Sumber: Dokumentasi Pribadi

Jalanan macet di mana-mana, pedagang dadakan muncul tiba-tiba, suara petasan meletus sebelum waktunya. Inikah yang disebut malam perayaan?

Pesta kembang Api di Ancol seolah-olah menjadi sebuah pemandangan yang luar biasa untuk awal tahun 2022 ini. 

Orang-orang dewasa, tua, remaja, dan anak-anak, baik yang tinggal di Jakarta atau bahkan di luar ibu kota, rela bermacet-macetan, atau sampai datang lebih awal sebelum malam perayaan tiba, semuanya demi menjadi seorang insan yang turut menyaksikan perayaan terdahsyat di awal hari tahun yang baru.

Tahun baru menjadi peluang tersendiri bagi kaum pragmatis dan kapitalis. Tahu-tahu berbagai potongan harga terpampang jelas di brosur-brosur mini market atau pada iklan-iklan komersial. 

Seolah-olah memberikan petunjuk bagi kita untuk mengonsumsi sesuatu. Sementara pedagang kaki lima yang menjual arang, tusuk sate, jagung bakar, trompet, petasan atau kembang api dan ayam potong, mengandalkan intuisi mereka untuk bersaing dengan harga demi memanfaatkan momentum ini. Jelasnya ada banyak roda kehidupan yang berputar setiap malam perayaan tahun baru.

Berapa uang yang terus beralih tangan setiap waktunya, dan sudah berapa banyak bahan bakar terkuras pada tangki motor atau mobil kita pada perayaan tahun baru ini. 

Belum lagi secara mendadak kebutuhan kita bertambah. Yang semula cukup dengan tidur untuk menikmati waktu libur, kita sibuk untuk menentukan perjanjian dan meletuskan kembang api ke langit. Belum lagi secara mendadak kita mengonsumsi daging giling dan soda.

Ketika kembang api meletus di langit, seluruh pasang mata menangkap pemandangan itu dengan layar ponsel mereka. Kemudian mereka abadikan dalam media sosial pribadi. Memberikan keabadian kisah yang terekam secara maya. Berharap diri menikmati pesta kembang api yang seperti dilakukan oleh negara-negara maju lainnya, kota Sydney di Australia, kota London di Inggris dan negara dengan kota besar lainnya. 

Perayaan fisik tahun baru mengisyaratkan negara, dan kota yang maju ditandai dengan pesta kembang apinya yang unik dan megah.

Seperti kembang api yang meletus indah di langit. Selain hingar bingar fisik, ucapan-ucapan harapan diunggah ke dalam media sosial berbarengan dengan potret diri. Menyampaikan segala kekurangan dan ketidak sampaian diri di tahun sebelumnya, menjadi tujuan hidup di tahun yang baru. 

Sementara keragaman di negeri kita memiliki banyak sekali tahun baru, kita sebut saja seperti Imlek, Saka, dan Hujriyyah. Jadi sebenarnya tahun baru itu sudah sangat biasa di negeri ini. Sayangnya Masehi dianggap menyatukan kita. 

Apakah karena penghitungan Masehi berasal dari barat lantas kita juga turut merayakannya dengan kembang api ala barat?

Tapi apa yang terjadi di negeri ini? Dan apa sebenarnya yang diharapkan melalui pesta kembang api di Jakarta? Kemajuan seperti apa yang diharapkan dari sebuah letusan kembang api? Apa harapan kaum urban di Jakarta dengan berbondong-bondong membuat kemacetan demi menyaksikan letusan kembang api? Imajinasi kemajuan apa yang disimbolkan dalam pesta kembang api di langit Ancol? Apakah dengan meletuskan kembang api ke langit Jakarta akan serupa dengan Sydney, atau London?

Entah kenapa semua yang berbau kemajuan dari barat, selalu menjadi imajinasi harapan kita di tahun-tahun selanjutnya. Sehingga kita selalu mengharapkan ada keajaiban muncul melalui letusan kembang api di langit Jakarta. 

Monumen Nasional, Hotel Indonesia, atau sekarang Ancol, menjadi lokasi yang diharapkan oleh penduduk negeri ini untuk dapat menjadi ciri khas meletusnya kembang api di langit serupa Sydney atau London. 

Tetapi Jakarta tetaplah Jakarta dengan segala harapan kemewahannya. Kembang api tidak meletus seperti di Sydney, dan resolusi yang mereka ucapkan adalah sebuah pengulangan.

Semua pertanyaan tentang kembang api dan kemegahan acara tahun baru yang menyimbolkan kemajuan peradaban, secara kesimpulan hannyalah sebuah bentuk penggambaran imajinasi dan ekspresi yang penuh komedi. 

Di Singapura pada keadaan pandemi seperti saat ini, pesta kembang api diganti dengan pertunjukan cahaya yang dinamai Shine a Light menerangi langit Marina. Membuktikan bahwa ada banyak cara untuk menyampaikan kemajuan sebuah perayaan tanpa harus menggunakan letusan kembang api yang berwarna. 

Akan tetapi luapan ekspresi yang dilakukan Sydney, Singapura, dan bahkan negeri kita terlalu samar untuk diartikan sebagai ekspresi kegembiraan. Toh menggunakan letuskan kembang api atau tidak, tanpa ada alasan pesta tetaplah pesta.

Selain angka yang berubah sebenarnya apa yang manusia rayakan? Tahun baru Masehi tentunya akan berbeda hitungan dengan tahu Hijriyyah, Saka, Imlek, Songkran, dan atau penghitungan tahun yang lainnya. Jadi sebenarnya negeri ini sudah melewati tahun baru yang lainnya selain Masehi, juga perayaan kembang apinya. Sehingga sangat jelas kita tidak sedang merayakan pergantian tahun, tetapi sedang mencari kesenangan.

Apa sebenarnya yang meriah? Kegembiraan macam apakah itu? Karena sebenarnya kemeriahan yang kita tunggu di langit bukanlah perayaan waktu, bukan juga hari yang sakral sebagai penganut kepercayaan Tuhan. Melainkan sebuah huruf pada kalender yang berubah secara matematis dan berkelanjutan. 

Kenapa kita membuat resolusi di awal tahun? Jika kita bisa membuatnya setiap saat setelah menuai kegagalan. Yang pasti tidak perlu banyak omong kosong, karena manusia memang suka dengan keuntungan dan kesenangan.

Kota di negara yang konon katanya maju seperti London misalnya, pastilah negara membutuhkan banyak biaya untuk menampilkan pesta kembang api yang luar biasa. Sementara konsep perayaan tahun baru dengan kembang api dibuat oleh petinggi istana. 

Mereka tidak hanya memberikan suguhan pesta tahun baru dengan kembang api, tetapi juga sedang menarik mata wisatawan dengan segala mitos kemodernan mereka. Semuanya dilakukan demi keuntungan dan kesenangan.

Sama tapi berbeda, inilah Jakarta dan kota besar lainnya di negeri ini, siapa saja boleh meletuskan kembang apinya ke langit, dan kapan saja semau mereka. Kembang api dibeli dari uang pribadi rakyat, diletuskan oleh rakyat, dan sesuai waktu yang rakyat inginkan. Bahkan dua tiga hari setelahnya pun, bunyi letusan di langit masih menjadi kehendak mereka. Pedagang kaki lima dadakan muncul di mana-mana. Dengan secara tiba-tiba selera lidah kita berubah seperti orang barat yang gemar memakan sosis bakar, dan meminum soda.

Inilah negeri kita yang sebenarnya tidak perlu menjadi barat, atau menjadi negara dengan mitos kemodernan yang disimbolkan dengan letusan meriah di langit secara teratur dan tepat waktu. 

Kembang api bisa kita letuskan di atas genting, di halaman rumah tanpa perlu menunggu waktu dan aba-aba, atau tidak perlu repot-repot membelinya, cukup dengan melihat ke langit dengan mata telanjang sambil membakar jagung dan sosis yang dijual oleh pedagang kaki lima dadakan.

Tapi sebagai manusia yang haus akan imajinasi kesenangan, manakah yang akan kita pilih? Memilih pilihan yang ada? Atau memilih sesuatu di luar pilihan tetapi tetap merayakannya? Atau memilih untuk tidak merayakan tetapi mengambil pilihan yang disediakan untuk dipilih? Semuanya terserah Anda, selagi Anda senantiasa mencari makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun