Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keberhasilan G-30-S Melanjutkan Misi PRRI-Permesta

23 September 2020   16:16 Diperbarui: 23 September 2020   16:32 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Tonis Dzikrullah | dokpri

Faktor-faktor pendorong dari meletusnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta di Sumatera Barat dan Sulawesi dapat dikatakan antara lain karena persoalan otonomi daerah, rasionalisasi angkatan perang, gagalnya pembangunan ekonomi, gesekan dengan komunisme di Indonesia, guncangan di dalam tubuh angkatan darat, dan peristiwa Cikini. Kemudian keadaan semakin memburuk disaat Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden RI sejak 1 Desember 1956, karena merasa tidak sejalan lagi dengan kebijakan Bung Karno.

Keadaan ini kemudian mendorong pergolakan di beberapa daerah. Para panglima miiiter di daerah-daerah yang merasa tidak puas akhirnya mengambil alih pemerintahan sipil dengan berbagai alasan, namun pada umumnya alasan dikemukakan demi pembangunan daerah yang berdasarkan otonomi daerah.

Kemudian berdirilah Dewan Banteng di Sumatera Barat (20 Desember 1956), Dewan Gajah di Sumatera Utara (22 Desember 1956), Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Januari-Februari 1957), dan Permesta di Sulawesi (2 Maret 1957) dengan panglima-panglimanya Letkol Ahmad Husein, Kolonel M. Simbolon, Letkol Barlian dan Letkol Vence Sumual. Penguasa-penguasa militer daerah-daerah tersebut melakukan barter untuk membiayai program pembangunan daerah yang menjadi sumber daya hidupnya.

Mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden, khususnya daerah-daerah yang mengalami pergolakan, semakin khawatir aspirasinya tidak didengar oleh Pusat. Di samping kekhawatiran yang semakin besar dengan semakin besarnya pengaruh komunis, saat itu juga sedang terjadi situasi menghangat adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.

Untuk itulah masalah pergolakan daerah untuk otonomi yang lebih luas dan pembangunan daerah di Indonesia dibarengi dengan masalah pokok dan kesibukan politik dewasa itu yang berkisar pada upaya-upaya pemulihan "dwi-tunggal Soekarno-Hatta" untuk mengatasi krisis yang sedang terjadi. Di Jakarta sendiri diambil inisiatif oleh Jenderal Gatot Subroto dan beberapa tokoh lain untuk mengembalikan fungsi dwi-tunggal, namun selalu dimentahkan oleh Front Nasional yang didominasi PKI dan PNI.

Tahun 1957, ketika Soemitro Djojohadikoesoemo (Tokoh ekonom dari PSI) mendapat kabar buruk dari Koran-koran komunis dan nasionalis seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan lain-lain bahwa ia kemungkinan akan ditahan karena tuduhan korupsi, ia begitu tertekan dan akhirnya memutuskan menemui Bung Sjahrir untuk membicarakan masalah yang dihadapinya.

Bung Sjahrir menyarankan Soemitro untuk pergi ke Pulau Sumatera dan Sulawesi guna membantu pembangunan daerah yang saat itu sedang ditangani oleh penguasa-penguasa militer seperti Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Permesta. Soemitro-pun setuju, dan dengan persetujuannya itu Soemitro menyatakan akan membawa serta asisten-asistennya untuk membantu tugasnya.

Rudolf Mrazek, misalnya, ia menjelaskan bahwa motivasi Soemitro pada bulan Mei 1957 ketika meninggalkan Jakarta adalah untuk menghindari pemeriksaan tentang tuduhan melakukan korupsi. Soemitro diduga menyalahgunakan kedudukannya di pemerintah dengan bertindak pada waktu yang sama sebagai ketua panitia PSI untuk pemilihan, dan menyelewengkan uang negara untuk partainya.

Pada periode yang sama, tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, yang saat itu selaku Gubernur Bank Indonesia, juga merasa tidak aman di Jakarta karena diteror terus menerus oleh pihak-pihak tertentu, namun hal itu dibiarkan saja oleh aparat-aparat keamanan. Karena merasa keamanan tidak terjamin di ibukota, akhirnya Natsir, Assaat, dan Sjafruddin Prawiranegara memutuskan untuk mengungsi ke Sumatera.

Sewaktu pergolakan daerah kian memuncak, dewan-dewan militer di daerah itu melakukan pertemuan intensif di Palembang, kemudian di Padang dan di Sungai Dareh. Pertemuan di sungai Dareh itu antara lain mengeluarkan mosi agar Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Djuanda dan membentuk Zaken Kabinet yang dipimpin oleh Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Dalam pertemuan khusus antara panglima dan perwira militer dari dewan-dewan militer daerah yang bergolak, konon hadir juga tokoh-tokoh sipil, seperti Soemitro Djojohadikoesoemo (PSI), M. Natsir, Burhanuddin Harahap, juga Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Masyumi), dan Mr. Assaat yang tidak berpartai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun