Uji coba kendaraan udara listrik vertikal (eVTOL) Ehang 216-S yang berlangsung beberapa waktu lalu memicu perdebatan: apakah taksi terbang memang akan menjadi solusi transportasi masa depan di Indonesia atau justru masih terlalu dini?
Menurut Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari MTI, penggunaan taksi terbang untuk saat ini sebaiknya difokuskan untuk mengangkut barang, Â bukan manusia. "Lebih baik digunakan untuk hasil pertanian dari daerah-daerah terpencil. Jalannya buruk, tapi hasil pertaniannya bagus. Itu bisa pakai drone atau taksi terbang dulu," ujarnyaÂ
Djoko menyoroti persoalan infrastruktur dan keselamatan. Ia menilai pemanfaatan taksi terbang untuk manusia sebaiknya ditunda. "Soal keselamatan dan keterbatasan ketinggian perlu diperhatikan. Apalagi kita di Indonesia ini, dengan regulasi yang belum siap dan ruang udara yang masih semrawut," jelasnya. Ia juga menyebut bahwa solusi kemacetan belum bisa dipecahkan dengan kehadiran taksi terbang.
Berbeda dengan Djoko, Yannes Martinus Pasaribu melihat potensi teknologi ini dalam jangka panjang. Ia menyebut eVTOL seperti Ehang 216-S menawarkan pengalaman unik dan eksklusif yang dapat menarik minat pasar premium, terutama di kawasan wisata seperti Bali. "Desainnya sudah sepenuhnya otonom, tidak perlu pilot, sehingga mengurangi risiko human error," jelasnyaÂ
Menurut Yannes, kendaraan ini telah diuji lebih dari 10.000 jam dan sudah dilengkapi sistem AI, GPS, serta sensor untuk navigasi. Selain itu, basis listriknya mendukung target Indonesia menuju net zero emission 2060, serta lebih murah dibanding helikopter dari sisi biaya operasional maupun perawatan.
Namun, ia juga menggarisbawahi banyak tantangan: jangkauan terbang eVTOL masih terbatas (hanya sekitar 35 km per pengisian daya), kapasitas penumpangnya hanya 2 orang, dan regulasi belum matang. "Butuh pengembangan vertiport, sistem navigasi udara, hingga 5G yang merata. Masih banyak pekerjaan rumah 5--10 tahun ke depan," ujarnya.
Kendala regulasi, infrastruktur, dan keamanan siber juga menjadi sorotan. Menurut Yannes, perlu integrasi yang cermat antara eVTOL dan sistem lalu lintas udara komersial dan militer. Selain itu, sistem harus aman dari potensi peretasan, serta menjamin privasi data penumpang. Sertifikasi kendaraan dan operator pun masih perlu dirumuskan.
Di tahap awal, layanan taksi terbang kemungkinan hanya menyasar kalangan atas (upper class segment) di kota-kota besar yang padat dan macet seperti Jakarta, Surabaya, atau kawasan wisata eksklusif.
Taksi terbang memang membuka wacana baru dalam dunia transportasi Indonesia, namun implementasinya masih memerlukan persiapan matang, mulai dari regulasi, infrastruktur, hingga kesiapan teknologi digital. Untuk sekarang, impian menghindari kemacetan dengan terbang mungkin masih sebatas angan---setidaknya untuk sebagian besar masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI