Mohon tunggu...
Mohamad Isyammudin S.H
Mohamad Isyammudin S.H Mohon Tunggu... PENULIS

Hidup Adalah Seni Menulis Tanpa Penghapus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Dalam Bayang Kekuasaan : Ketika Fakta Dibentuk Oleh Politik

8 Juli 2025   00:58 Diperbarui: 8 Juli 2025   00:58 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 ( Sumber : Geotimes )

Ketika sejarah dijadikan alat politik, yang muncul adalah masyarakat yang tidak kritis, mudah digiring oleh propaganda, dan kehilangan kemampuan untuk mengevaluasi masa lalu secara objektif. Ini sangat berbahaya, sebab bangsa yang tidak belajar dari sejarah akan mengulangi kesalahan yang sama.

Demokratisasi Sejarah: Menolak Monopoli Narasi

Kritik terhadap penulisan ulang sejarah bukan berarti menolak adanya interpretasi. Yang dikritik adalah dominasi satu narasi yang menyingkirkan keberagaman suara. Demokratisasi sejarah adalah keharusan jika Indonesia ingin membangun masyarakat yang adil dan sadar akan masa lalunya. Ini bisa dimulai dengan membuka akses terhadap arsip sejarah, mendorong diskusi terbuka di ruang publik, dan merevisi kurikulum pendidikan yang selama ini cenderung politis dan monolitik.

Perlu juga mendorong keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas lokal dalam menulis sejarah dari perspektif mereka sendiri. Sejarah rakyat (people's history) harus diberi tempat yang sama dengan sejarah versi negara. Narasi para petani, buruh, perempuan, dan kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan harus diangkat untuk memperkaya pemahaman kita terhadap masa lalu.

Sejarah Bukan Milik Penguasa

Sejarah adalah milik bersama, bukan milik penguasa. Ketika sejarah ditulis ulang untuk melayani kekuasaan, maka yang dikorbankan adalah kesadaran masyarakat. Kebenaran menjadi relatif, fakta dibengkokkan, dan masa lalu dikunci dalam versi tunggal yang tidak boleh dipertanyakan. Kita harus menolak praktik ini. Masyarakat Indonesia berhak mengetahui sejarahnya secara utuh lengkap dengan konflik, perlawanan, dan luka-luka kolektifnya. Dengan begitu, kita bisa belajar, menyembuhkan, dan membangun masa depan yang lebih bijak.Menulis ulang sejarah seharusnya dilakukan dengan semangat kritis dan etika akademik, bukan sebagai alat propaganda. Jika tidak, maka sejarah hanya akan menjadi alat untuk memperpanjang kekuasaan, bukan untuk memperluas kesadaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun