Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal Akmaludin
Muhamad Iqbal Akmaludin Mohon Tunggu... Mahasiswa Sejarah Islam - Penulis

Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, UIN Jakarta Mahasantri Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Sejarah Lisan dalam Buku "Tahun Yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65 (essai-essai Sejarah Lisan)"

10 November 2020   10:00 Diperbarui: 10 November 2020   13:40 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu sumber penulisan sejarah adalah sejarah lisan, yaitu menggunakan metode wawancara. Penulisan sejarah dengan sejarah lisan sebagai sumber utama ini memiliki arti yang khas serta penuh tanggung jawab, yakni sumber sejarah tersebut dilisankan oleh narasumber  (manusia sebagai pelaku atau saksi) terhadap suatu peristiwa yang terjadi di zamannya. Dan hal yang paling utama adalah narasumber harus benar-benar orang yang mengetahui kejadian tersebut, baik sebagai pelaku atau saksi, serta penuh tanggung jawab atas semua kebenaran apa yang dia ceritakan. 

 

Salah satu buku yang dengan menjadikan sejarah lisan sebagai sumber utama adalah buku “Tahun Yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65 (Esaai-essai Sejarah Lisan)”, yang merupakan kumpulan essai / artikel tentang peristiwa yang terjadi di tahun 1965, kemudian di jadikan buku oleh sejarawan John Roosa dan kawan-kawannya dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Tim ini  berjumlah sepuluh orang ini dimulai sejak awal tahun 2000-an, dan berhasil disusun menjadi buku ini pada tahun 2004. Dan buku ini murni hasil sejarah lisan, dengan metode wawancara kepada korban atau keluarga korban yang menyaksikan langsung kejadian kelam tahun 65-66. 

 

Buku ini ditulis dengan langsung menjadikan para korban kejadian kelam sepanjang tahun 1965-1966. Nama nama narasumber yang disebutkan dibuku ini adalah nama samaran, karena sampai dilaksanakannya wawancara, mereka masih merasa tidak aman dengan nama asli mereka. Namun waktu, tempat, dan kejadian yang diceritakan bisa mereka jamin kebenarannya. Dan tim penulis pun merasakan kesulitan dalam menuangkan isi berita yang berbentuk suara ke dalam tulisan, namun tim penulis semaksimal mungkin untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Walaupun tidak semua, setidaknya ada sebagian yang dapat dipublikasikan oleh Tim Penulis.  

 

Dan alasan utama penulisan buku ini  karena tim penulis yakin bahwa peristiwa pembantaian PKI tahun 65-66 itu nyata dan banyak orang yang menyaksikannya, namun tidak pernah ada dokumen atau laporan tertulis mengenai peristiwa berdarah ini. Maka dengan adanya buku ini, diharapakan menjadi titik terang ditengah gelapnya peristiwa tahun 65-66 ini. 

 

Dalam pengatar buku “Tahun Yang Tidak Pernah Berakhir” disebutakan bahwa saat tim penulis hendak menulis buku yang terdiri dari kumpulan essai-essai sejarah lisan yang memuat serangkaian peristiwa tahun 1965, banyak tanggapan bahwa penulisan sejarah lisan ini tidak akan objektif, mengingat bahwa narasumber sejarah lisan tidak bisa dijamin mampu memberikan kebenaran dalam apa yang mereka sampaikan terkait peristiwa yang akan ditulis. Selain itu banyak yang meragukan ingatan narasumber, mengingat jauhnya jarak peristiwa terjadi dengan proses wawancara. 

 

Dan semua tanggapan itu menunjukan adanya perspektif yang terdistorsi penulisan sejarah. Padahal kita pun juga sejatinya tidak bisa menyakinkan bahwa dokumen sejarah yang tertulis itu mengandung kebenaran 100%. Jadi baik menggunakan dokumen atau lisan (wawancara), penulisan sejarah tetap sah dilakukan tanpa memandang apa yang tertulis di dokumen atau yang disampaikan narasumber itu benar atau tidak. Maka dalam menemukan apa yang paling benar itu adalah tugas penulis sejarah untuk melakukan analisis dan kritik terhadap sumber yang didapatkan.

 

Terdapat 260 orang yang yang menjadi target untuk diwawancarai oleh Tim Penulis untuk membuka secara lebih mendalam kejadian tahun 65-66. Dan dari sekian banyak target narasumber, hanya ada 60 narasumber yang keterangannya berhasil dijadikan tulisan berupa 6 essai, dan beberapa wawancara narasumber menjadi transkip wawancara. Dan mereka yang dapat diwawacarai itu merupakan orang –orang yang “beruntung”, karena bisa selamat dari pembunuhan massal, tetap bertahan waras, dan masih mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi, setelah beberapa tahun mendekam di penjara.

 

Setiap minggunya, Tim pewawancara menemukan masalah, mulai dari masalah teknis seperti pemasangan mikrofon sampai masalah emosional saat mendengar cerita-cerita mengerikan dari para narasumber (korban). Dalam melakukan penelitian sejarah lisan ini,  Tim penulis melakukan pelatihan tentang Sejarah Lisan selama dua bulan kepada sepuluh relawan.

 

Mereka bertemu sekurang-kurangnya sekali dalam satu minggu selama dua bulan. Dan dalam pertemuan tersebut, Tim Penulis dan relawan membaca sejumlah buku dan artikel pilhan, menyusun agenda penelitian, membahas teknik wawancara, dan menentukan jenis-jenis pertanyaan yang akan diajukan ke narasumber. Dan pelatihan sebelum terjun kelapangan ini sangat penting untuk memperkenalkan literatur sejarah tentang tahun 1965 kepada para peneliti awal, terutama pada literatur yang diterbitkan di luar negeri, ataupun literatur yang dilarang/sulit diperoleh di Indonesia.

 

Dan tim penulis serta relawan sangat memperhatikan nilai kebenaran dari cerita-cerita yang mereka dengar dan rekam.  Mereka menilai ketepatan cerita seseorang dari konsistensi internal, pembandingan dengan cerita orang lain, kesan yang mereka peroleh saat melakukan wawancara, dan pendapat orang lain yang kenal dengan orang yang diwawancara.  Dan tim penulis memilih untuk mewawancarai banyak korban diberbagai kota agar punya landasan luas untuk membuat perbandingan, sehingga hasil wawancara diharapkan bisa seobjektif mungkin.

Di dalam setiap essainya, hasil wawancara dari para narasumber menjadi inti pembahasan dan menjadi saksi nyata dalam peristiwa yang terjadi di Tahun 65-66. Dan tim penulis dan tim pewawancara sebelumnya memang telah membaca buku atau tulisan mengenai Tahun 65-66, baik dari dalam atau luar negeri. Namun tulisan dari tim penulis tersebut hanya lah pengantar saja. Dan hasil wawancara dari para narasumber ini membuat kejadiaan berdarah tahun 65-66 ini menjadi lebih nyata dengan keterangan yang lebih terperinci, yang tidak ada di buku buku lain.

Dalam buku yang merupakan kumpulan essai ini, terdiri dari 270 halaman (plus cover) dan terbagi ke dalam 6 essai, yakni :

 

  • Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S (Rinto Tri Hasworo)
  • Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas (Yayan Wiludiharto)
  • Ketika Perempuan Menjadi Tapol (Josepha Sukartiningsih)
  • ‘Riungan’ dan Tegar Hati : Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan (Aquino W. Hayunta dan John Roosa)
  • Romusha dan Pembangunan : Sumbangan Tahanan Politik Rezim Soeharto (Razif)
  • Perjuangan Bersenjata Rezim PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula (Andre Liem)

 

Dalam Essai I, Rinto Tri Hasworo yang telah melakukan wawancara kepada 11 narasumber di Jawa Tengah, menggambarkan peristiwa penangkapan dan pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S, khususnya setelah masuknya RPKAD (Reseimen Para Komando Angkatan Darat) di bulan Oktober 1965. Sebelum RPKAD datang, keadaan di Jawa Tengah tenteram dan damai, namun setelah RPKAD datang, mulai banyak penangkapan dan pembunuhan terhadap para anggota, keluarga, dan pendukung PKI atau bahkan hanya sekedang anggota dari organisasi kepemudaan yang dicurigai. 

 

Rinto melakukan penelitian selama dua tahun (2000-2001) terhadap 80 eks-Tapol di Jawa Tengah untuk memetakan pola-pola “Pembasmian” PKI oleh rezim orde baru. Operasi pembasmian ini dimulai di Semarang, kemudian menyebar ke berbagai wilayah di  Jawa Tengah lainnya seperti Magelang, Kudus, Pati, Rembang, Demak, dan Jepara. Pola penangkapan ini ada yang menggunakan petugas (militer & kepolisian), ada yang menggunakan massa partai / ormas yang bertentangan dengan PKI, ada yang menggunakan gabungan militer dan ormas, serta ada yang menggunakan pemanggilan untuk kumpul di tempat tertentu.

 

Salah satu narasumber, Suparno, ditangkap karena dia menjadi anggota Pemuda Rakyat, dan kemudian ditangkap, serta dibuang ke Pulau Buru selama 6 tahun, setelah sebelumnya ditahan di kamp-kamp penahanan di Nusakambangan selama 6 bulan di tahun 1971.

 

Dan banyak dari narasumber menggambarkan bagaimana kekejaman dan penyiksaan yang mereka terima selama operasi pembasmian PKI ini, padahal mereka tidak terlibat dalam komunis. Essai sejarah lisan yang ditulis Rinto ini menjadikan Jawa Tengah sebagai salah satu daerah yang mengalami “pembasmian” yang tidak berkemanusiaan, dan menjadi gambaran bagaimana pembasmian di wilayah lainnya yang tidak jauh berbeda.  

 

Dalam essai II, Yayan Wiludiharto menuliskan tentang ketegaran dari keluarga para korban tahun 65-66 dari 4 narasumber. Mereka selalu menunggu kepulangan anggoata keluarga yang ditanggkap selama usaha pembersihan PKI. Mereka menyaksikan penangkapan orang yang tercinta, dan harus menanggung beban sosial. Selama berpuluh-puluh tahun mereka diawasi oleh pemerintah dan masyarakat.

 

Seperti yang dialami oleh Partono, saat menyaksikan bapaknya dipanggil ke Kodim, dan tidak pernah kembali melihatnya selama-lamanya. Setelah bapaknya dipanggil, Partono juga menyebutkan adanya penggeledahan rumah oleh petugas yang datang satu truk, dan rumahnya diobrak-abrik. Dia terus mencari bapaknya selama beberapa tahun, sampai ada salah satu tetangga yang menyebutkan bahwa bapaknya telah dieksekusi. Hingga saat wawancara, dia tidak pernah kembali melihat bapaknya dan tidak ada lagi kegiatan kesenian atau sosial di rumahnya. 

 

Dalam essai III, Josepha Sukartiningsih harus mendengarkan cerita asli para mantan Tapol Gerwani (organisasi perempuan) yang kemudian menjadi korban keganasan TNI, karena dianggap gerakan mereka memiliki kesamaan dengan gerakan PKI. Josepha Sukartiningsih kemudian menggambarkan bentuk penyiksaan yang dialami oleh para wanita eks-Tapol ini. Selama berpuluh-puluh tahun mereka mengalami teror, intimidasi, penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan, selama bertahun-tahun, tanpa mereka mengerti alasan apa mereka ditangkap. Dan penulis merasakan ketegaran para Ibu mantan tapol yang telah berusia lanjut tersebut saat mereka diwawancara.

 

Dalam essai bagian III ini, digambarkan juga bagaimana organisasi Gerwani sebagai oganisasi untuk pendidikan dan perjuangan yang dimotori oleh kaum hawa, diluluh lantakan oleh operasi pembasmian PKI oleh orde baru hanya karena mereka memiliki kesamaan pandangan dengan PKI dalam mengorganisir buruh dan petani, dan melawan imperialisme. Padahal mereka itu hanyalah organisasi otonom dari kontrol partai.

 

Dan cerita cerita Gerwani sebagai kelompok wanita yang menyiksa para Jendral dan melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan oleh wanita pada saat peristiwa G-30 S di Lubang Buaya ternyata hanyalah rekaan cerita dari para intelejen rezim orde baru. Alhasil para anggota Gerwani mengalami penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembakaran rumah mereka karena dianggap terlibat dengan PKI. Dan ini berlangsung hingga bertahun-tahun, bahkan sampai diwawancarai oleh penulis, mereka masih ingat setiap harinya penyiksaan yang mereka alama, padahal telah berlalu puluhan tahun lamanya.     

 

Dalam essai IV, Aquino W. Hayunta dan John Roosa tidak jauh berbeda dengan essai III, yang menuliskan tentang keteguhan para Tapol yang tidak bersalah menjalani penyiksaan dari Rezim Orde Baru. Di dalam essai ini juga digambarkan bagaimana suana MAHMILUB (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang diselenggrakan untuk mengadali para terduga yang terilbat denga PKI. Para saksi juga mengalami tekanan batin untuk dipaksa berbohong. Jika tidak, mereka akan disiksa oleh militer setelah persidangan.

 

Dan para Tapol ini menydari mereka ditahan itu karena adanya perubahan politik di Indonesia. Maka perlu adanya perubahan politik kembali, mereka bebas. Hal ini benar benar terwujud saat kebanyakan dari mereka dibabaskan antara tahun 77-79, karena adanya perubahan politik Soeharto, seiring dengan terpilihnya Jimmy Carter sebagai Presiden Amerika Serikat tahun 1977. 

 

Dalam essai V, yang membutuhkan sekitar 25 Narasumber, Razif menggambarkan tentang Romusha (Kerja Paksa) zaman Soeharto yang memaksa ribuan Tapol, baik mereka yang mendukung atau simpatisan dari komunis untuk bekerja secara paksa, dan tanpa ada bayaran selama beberapa tahun. Mereka bekerja secara paksa diberbagai proyek negara, seperti jalan raya, bendungan, jembatan, dan lain lain di sekitar akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Dan bahkan mereka jarang diberikan makan oleh militer, justru keluarga yang menanggungnya.

 

Kerja paksa ini terjadi di Sumatra, Jawa, Pulau Buru, dan Sulawesi, dan merupakan salah satu bentuk kejahatan orde baru yang tidak banyak diketahui publik. Dengan kerja yang tidak mengenal libur, tanpa sepeser pun upah, dan jarang diberikan makanan, maka kerja paksa ini perlahan merusak fisik para Tapol secara perlahan, dan tidak sedikit mati kelaparan dalam kerja paksa ini.

 

Terakhir, dalam essai VI Andre Liem menggambarkan tentang perjuangan para Tokoh PKI untuk melakukan perlawanan di Blitar Selatan, untuk menuntut balaa atas penagkapan dan pembunuhan ribuan nyawa yang tidak bersalah. Pada tahun 1966, di bawah Pimpinan Sudisman, PKI membuat strategi baru, yang didasarkan prinsip perjuangan bersenjata. 

 

Dan perlawanan PKI di Blitar Selatan ini langsung mendapatkan respon dari Kodam Brawijaya yang mengerahkan ribuan pasukan dengan peralatan tempur yang lebih lengkap untuk menumpas perlawanan PKI bersenjata ini pada tahun 1968. Operasi ini dikenal dengan sebutan Operasi Trisula, yang diselenggarakan dari Mei hingga Juli 1968. Dan operasi ini berlangsung sangat cepat dan berhasil melumpuhkan gerakan perlawanan bersenjata PKI ini.

 

Dalam keterangan para narasumber, Operasi Trisula ini memiliki kecacatan dalam operasi ini. Setidaknya ada tiga hal utama :

 

  • Perlawanan PKI ini baru sebatas rencana dam persiapan, dan belum memulai perlawanan bersenjata sesungguhnya. Sementara Militer datang dengan kesiapan tempur tanpa ampun
  • Hanya sebagain kecil rakyat Blitar selatan yang terlibat PKI. Namun militer tanpa pandang bulu menyerang semua warga, dan menganggap semuanya musuh.
  • Dalam catatan Angkatan Bersenjata, Operasi ini tidak membicarakan kejahatan dalam operasi ini. Sementara banyak sekali kejahatan kejahatan militer kepada rakyat sipil dalam operasi ini.

 

Dalam essai VI ini, digambarkan bagaimana proses para pemimpin PKI bisa lolos dari dari kejaran militer, dan berhasil membangun basis PKI di Blitar. Perlu waktu sekitar 2 tahun lebih untuk mempersiapkan perlawanan bersenjata, sebagai bentuk pembalasan kepada militer dan rezim orde baru. Namun semua persiapan yang belum matang ini diketahui oleh militer, dan mengirim Kodam Brawijaya di bawah pimpinan Mayjen Jasin untuk menghancurhkan basis baru PKI di Blitar Selatan ini pada buln Mei hingga Juli 1968 ini.

 

Namun sayangnya, operasi trisula ini mendatangkan maut bagi para pendudukan Blitar Selatan. Merka yang tidak terlibat, harus menanggung pahitnya hidup setelah militer datang, dan membasmi penduduk tanpa pandang bulu. Seperti yang diceritakan Wagiman yang harus lari masuk hutan sampai ke pantai karena ketakutan ditangkap militer. Wagiman menceritakan bagaimana para penduduk dikumpulkan dan mengalami penyiksaan untuk mengakui bahwa mereka terlibat dengan PKI. Bahkan untuk membuktikan dirinya tidak terlibat PKI, Wagiman rela menjadi tukang angkut barang -barang militer untuk ikut serta dalam memburu PKI. Namun setelah satu minggu melayani PKI, Wagiman tetap disiksa dan dipukuli karena dicurigai mata-mata PKI.

 

Itulah sedikit bagian dari buku “Tahun Yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Koran 65 (Esaai-Essai Sejarah Lisan)”. Masih banyak hal yang tersembunyi dibalik peristiwa berdarah di tahun 65-66 terkait operasi pembasmian PKI oleh orde baru. Alhamdulilah, dari buku ini, saya bisa melihat dan memahami peristiwa tahu 65-66 dari sudut pandang para korban, tidak hanya dari sudut pandang rezim orde baru saja.

 

Lantas manakah yang benar ? Kita lihat nanti kedepannya. Fakta demi fakta terkait peristiwa yang telah terkubur selama puluhan tahun itu akan terungkap dalam sejarah.

 

Semoga dengan adanya buku ini, kejadian tahun 65-66 yang mengakibatkan ribuan orang merenggang nyawa bisa menemui titik temu, dan semua korban yang masih hidup serta saksi mendapatkan perlindungan yang kuat di depan hukum dan diakui di mata masyarakat.

 

Wallahu ’alam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun