Sepak bola Italia terkenal telah menghadirkan pemain-pemain legendaris di berbagai era, mulai dari Giuseppe Meazza sampai Gianluigi Buffon. Selain itu, deretan pelatih revolusioner pun juga tak jarang lahir dari negara yang punya bentuk mirip kaki yang sedang menendang bola ini. Sebut saja Arrigo Sacchi yang disebut sebagai salah satu pelatih tersukses AC Milan hingga Antonio Conte yang mampu mengimplementasikan formasi 3-5-2 yang tak lazim di sepak bola Inggris menjadi taktik brilian.Â
Sayangnya, apa yang Negeri Pizza hadirkan untuk sepak bola bukan cuma kisah manis saja. Sebut saja skandal calciopoli yang menggegerkan dunia lantaran terbongkarnya kasus pengaturan skor yang melibatkan banyak klub-klub besar, seperti Juventus, AC Milan, Lazio, dan Fiorentina.
Bukan hanya itu, masih ada satu lagi polemik yang tak kunjung usai di belantika sepak bola Italia. Rasisme menjadi noda hitam yang tak urung pudar dan malah terus mencemari sepak bola di negara yang beribu kota di Roma tersebut.
Sepanjang Serie A Liga Italia musim 2019/2020 berjalan, sudah ada sejumlah tindakan rasisme yang diterima oleh beberapa pemain. Sebut saja Romelu Lukaku (Inter Milan), Dalbert (Fiorentina), dan Ronaldo Vieira (Sampdoria).
Satu yang terbaru adalah ketika para pendukung Hellas Verona meniru suara monyet dan meneriakinya ke Mario Balotelli yang kini membela Brescia.
Menariknya, ini bukan pertama kalinya Balotelli mendapat ejekan bernada rasis. Pada 2009, ketika masih bermain untuk Inter Milan, pemain berjuluk Super Mario itu juga pernah mendapat pelecehan serupa.
Ya, rasisme memang bukan barang baru di sepak bola Italia. Pada era 1990an, nama tenar seperti Paul Ince juga pernah mengalami pelecehan rasis.
Jika diibaratkan sebagai sebuah tumbuhan, rasisme sudah mengakar kuat dan berbunga lebat di belantika sepak bola Italia. Lantas, apa yang mengakibatkan hal tersebut bisa terjadi?
Jika melihat dari sejarahnya, rasisme memang sudah melekat di kehidupan sosial masyarakat Italia. Pada era 1930an, di bawah pimpinan Benito Mussolini, terdapat undang-undang yang melegalkan praktik persekusi terhadap penduduk Yahudi Italia dan melarang imigran masuk ke negara yang berbatasan langsung dengan Perancis tersebut.
Sedangkan di era modern, pada 2017, survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa Italia merupakan negara paling rasis di Eropa Barat.
Para Elit Tutup Mata, Supoternya Keras Kepala
Sudah punya sejarah kuat sebagai negara yang rasis, masyarakat Italia, khususnya para penggiat sepak bolanya, juga tampaknya tidak ada niatan untuk berubah. FIGC, PSSI-nya Italia, tampak tak serius untuk menanggulangi masalah tersebut. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh penyelenggara Serie A Liga Italia.
Bisa dibilang, tidak ada kampanye yang mampu mengajak seluruh elemen di dalam industri sepak bola Italia untuk berubah dan menanggalkan rasisme seutuhnya.
Minimnya tindakan dari para elit dalam melakukan perubahan dilengkapi dengan sikap para penggiat sepak bola lainnya yang bisa dibilang tak kalah konyol.
Lihat saja apa yang dikatakan oleh Ivan Juric, pelatih Hellas Verona, setelah timnya menjalani laga melawan Brescia. Itu merupakan laga yang sama saat Balotelli mendapat pelecehan bernada rasis.
"Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa tidak ada yang terjadi. Memang ada siulan dan ejekan yang dilontarkan oleh suporter, tapi tidak ada ujaran rasial. Tidak ada sama sekali," ucapnya.
Padahal, bisa dibilang, seluruh 22 pemain yang berada di lapangan menyadari jika pendukung Hellas Verona bersorak menirukan suara monyet ketika Balotelli memegang bola.
Bahkan, para penggawa Hellas Verona sampai meyakinkan wasit untuk mencabut kartu kuning yang sempat diberikan kepada Balotelli lantaran ia dianggap melakukan tindakan tidak terpuji ketika menendang bola ke arah penonton akibat pelecehan tersebut.
Hal serupa juga ditemukan pada tindakan rasisme yang dialami oleh Lukaku. Kala itu, kelompok ultras Inter Milan bernama L'Urlo della Nord justru tidak membenarkan apa yang dilakukan fans Cagliari terhadapnya adalah tindakan rasisme.
Peniruan suara monyet yang dilakukan suporter Cagliari kala itu hanya dianggap sebagai upaya untuk meruntuhkan mental Lukaku saja dan menjadi bagian di dalam permainan sepak bola itu sendiri. Sungguh ironis jika melihat Lukaku justru tidak didukung oleh sebagian suporter klub yang dibelanya.
Bagaimana sikap para penggiat sepak bola Italia dalam menanggapi isu rasisme ini seakan membenarkan ucapan Balotelli dalam sebuah wawancara dengan Sports Illustrated pada 2013 lalu. Berikut ucapannya kala itu:
"Kamu tidak bisa menghilangkan rasisme. Itu tak ubahnya seperti rokok. Kamu tidak bisa berhenti merokok jika kamu tidak ingin berhenti, dan kamu tidak bisa menghentikan rasisme jika orang-orang tidak mau melakukannya. Tapi aku akan melakukan apa pun yang aku bisa untuk membantu."
Seluruh elemen yang tergabung di dalam industri sepak bola Italia seharusnya mau belajar dari negara lain dalam memerangi rasisme. Tengok saja Inggris.
Premier League punya kampanye No Room for Racism sebagai upaya melawan rasisme. Selain itu, Jamie Carragher, mantan bek Liverpool, belum lama ini pun meminta maaf kepada Patrice Evra, mantan pemain belakang Manchester United, karena sempat memberikan dukungan bagi Luis Suarez setelah melontarkan ujaran rasial kepada Evra saat Suarez masih berseragam The Reds.
Sedangkan di Bundesliga, salah satu klubnya, Borussia Dortmund, berhasil mendapat penghargaan Equal Game 2019 dari UEFA lantaran upayanya dalam melawan rasisme dan diskriminasi.
Masih ada waktu bagi sepak bola Italia untuk berbenah sepenuhnya. Jangan sampai isu rasisme ini kembali menenggelamkan gairah sepak bola di Negeri Pizza yang sedang bangkit kembali setelah kedatangan Cristiano Ronaldo ke Juventus musim lalu dan banyaknya pemain-pemain muda potensial di dalam skuat tim nasional Italia saat ini.