Mohon tunggu...
muhamad ali
muhamad ali Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya sangat suka membaca dan baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kritik Atau Penghancuran? Dampak Yuridis Reveiw Negatif Viral Terhadap Restoran dan Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Usaha

29 Mei 2025   01:43 Diperbarui: 29 Mei 2025   01:43 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam 72 jam setelah video TikTok bertajuk "Kuliner Paling Mengecewakan 2024!" viral Maret lalu, Resto "Sari Rasa" di Surabaya kehilangan 80% pelanggan dan terpaksa merumahkan 15 karyawannya. Kasus ini bukan sekadar fenomena media sosial---melainkan bentuk kekerasan ekonomi digital terhadap pelaku usaha kuliner. Berdasarkan riset Asosiasi Restoran Indonesia (2024), 65% UMKM kuliner mengalami penurunan omzet >40% akibat ulasan viral negatif. Artikel ini mengupas dasar hukum, batas kebebasan berekspresi, dan strategi perlindungan hukum berbasis penelitian normatif dan perspektif ahli.

Dasar Hukum: Kapan Ulasan Viral Melanggar?

Menurut Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji (Pakar Hukum Siber):

"UU ITE Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1) menjadi payung utama. Jika review mengandung kebohongan faktual (misal: klaim 'makanan basi' tanpa bukti lab) dan diviralkan hingga merusak reputasi, itu masuk pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong."

Prof. Dr. Ahmad M. Ramli (Guru Besar Hukum IT Unpad) menegaskan:

"Viralitas adalah aggravating factor dalam UU ITE. Pasal 28 ayat (1) bukan hanya soal kebohongan, tapi juga distorsi konteks. Misal: menyebut harga Rp 50.000 untuk steak 'mahal' tanpa menyebut porsi 300 gram dan bahan wagyu---itu penyesatan faktual yang merugikan."

Kriteria Pelanggaran Hukum Berkonstruksi:

  • Unsur Kesengajaan (mens rea): Niat merendahkan bisnis (KUHP Pasal 310).
  • Unsur Material: Kerugian ekonomi 24 jam operasi tutup (Pasal 1365 KUHPerdata).
  • Unsur Viralitas: Penyebaran eksponensial yang memperbesar dampak (Putusan MA No. 2570K/Pid.Sus/2020).

Ahli Media Dr. Nina Mutmainnah (Dosen Komunikasi UI):

"Virality bukan sekadar ekspresi---ia adalah amplifier kerusakan. Platform algoritma seperti Instagram/TikTok secara tak langsung menjadi co-aktor dalam pelipatgandaan kerugian."

Dampak Destruktif: Suara Pelaku Usaha dan Ahli Kuliner

Bara Pattiradjawane (Ketua APPCI) mengungkap temuan mengejutkan:
"80% review viral negatif berasal dari influencer bayaran kompetitor! Polanya: framing ekstrem ('terlalu asin' diubah jadi 'seperti air laut'), tanpa konteks objektif."

Survei APPCI-Kemenkop UKM (2024) memperkuat:

  • 72% restoran mengalami penurunan omzet >50%
  • 65% pemilik usaha alami depresi klinis
  • Hanya 15% yang menggugat karena keterbatasan biaya

Banyak pelaku usaha kuliner lokal yang merasa terganggu oleh ulasan influencer , terutama jika disampaikan secara emosional tanpa data akurat. Ibu Lina Marlina, pemilik Warung Nenek di Bandung, bercerita bahwa ulasan negatif dari seorang food influencer membuat jumlah pengunjung turun drastis dalam waktu seminggu. "Padahal kami sudah bersih dan ramah, tapi karena dia bilang 'tidak layak' dan pakai kata-kata kasar, orang jadi takut datang," ujarnya dalam wawancara dengan Kompas TV .

Pendapat senada disampaikan oleh Chef Marinka, yang menyarankan agar ulasan disampaikan dengan cara konstruktif. "Kalau ada masalah rasa atau pelayanan, ya sampaikan. Tapi gunakan kata-kata yang edukatif, bukan sekadar hujatan yang bisa merusak bisnis orang," katanya dalam diskusi virtual bertajuk "Etika Influencer di Dunia Kuliner".

Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha: Jalur Restoratif dan Represif

  • Gugatan Perdata (Pasal 1365 KUHPerdata):

Restoran dapat klaim ganti rugi materiil (kehilangan pendapatan) dan immateriil (reputasi).

Contoh kasus: Resto "Sari Laut" di Bali menang ganti rugi Rp 350 juta dari influencer tahun 2023.

  • Laporan Pidana (UU ITE Pasal 27/28):

Ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

  • Hak Jawab Proaktif (UU Pers No. 40/1999):

Restoran berhak meminta klarifikasi atau koreksi sebelum konten diviralkan.

Beberapa langkah konkret yang bisa diambil:

  • Regulasi : Pemerintah diminta membuat pedoman khusus untuk ulasan influencer , mirip dengan regulasi FTC (Federal Trade Commission) di Amerika Serikat.
  • Edukasi : Program pelatihan untuk influencer dan pelaku usaha tentang etika ulasan dan manajemen reputasi digital.
  • Platform Mediator : Media sosial seperti Instagram atau TikTok bisa menciptakan sistem pelaporan khusus untuk ulasan yang merugikan secara tidak adil.

Ahli hukum teknologi, Dr. Ahmad Khoirul Umam, SH., LL.M., menambahkan bahwa platform digital juga punya tanggung jawab moral. "Mereka tidak bisa hanya menjadi pasif. Harus ada mekanisme verifikasi dan filter terhadap ulasan yang jelas-jelas tendensius atau tidak berdasar."

Penutupan

Ketika satu ulasan viral mampu memusnahkan usaha turun-temurun, hukum harus hadir sebagai penjaga martingale ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diingatkan Prof. Satjipto Rahardjo: "Hukum harus merespon luka masyarakat." Kolaborasi tripartit---influencer bertanggung jawab, restoran melek hukum, dan negara hadir regulasi---adalah formula final menyelamatkan nyawa usaha kuliner Indonesia dari senjata viralitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun