Aku lahir dari napas-Nya,
dititipkan ke dalam daging
yang tak kukenal sebagai rumah.
Tangisku bukan karena sakit,
tapi karena keterpisahan.
Karena ruh tahu:
ini bukan tanahnya yang sejati.
Namun aku belajar mencintai dunia,
seperti bayi mencintai hangat kain
yang menutup tubuh rapuhnya.
Aku belajar menyebut nama-nama:
ibu, tanah, langit, aku
dan lupa satu Nama
yang melahirkan semuanya.
Jasad ini tumbuh,
dan dengan itu, egoku mengakar.
Aku menyangka diriku berdiri sendiri
padahal aku berdiri di antara
dua tangan: rahmat dan takdir.
Hari-hari berganti
dan aku merasa berat.
Bukan tubuhku yang renta,
tapi jiwaku yang lapar.
Ada lubang di dalam dada
yang tak bisa diisi oleh dunia.
Aku cari di buku,
di wajah kekasih,
di puncak-puncak doa yang gugur.
Namun sunyi tetap tinggal.
Aku bertanya:
Siapakah aku?
Apakah benar daging ini aku?
Apakah suara dalam hati itu aku?
Ataukah keduanya hanya bayang
dari sesuatu yang lebih jauh,
yang lebih nyata dari nyataku?
Aku seperti burung
yang lahir dalam sangkar
dan bertanya mengapa ada langit
yang selalu memanggil namanya.
Dan akhirnya aku tahu,
bahwa perjalanan ini bukan ke depan,
tapi ke dalam.
Semua yang kupanggul
nama, gelar, luka, dan cinta
tak bisa menyeberang ke seberang cahaya.
Harus kutanggalkan satu-satu,
seperti pakaian di depan pintu suci.
Aku datang telanjang
seperti aku pertama kali tiba.
Namun kini aku tahu
ke mana aku akan kembali.