Mohon tunggu...
Muhamad Baiul Hak
Muhamad Baiul Hak Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pro-Kontra Remisi Koruptor

7 September 2016   10:11 Diperbarui: 7 September 2016   10:31 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari nasional.republika.com


“Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara yang ingin memberantas korupsi” jelas Jokowi dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi G20.  Seperti yang dilansir nasional.kompas.com (5 September 2016), semua Negara harus bekerja sama dan aktif dalam memerangi korupsi. Menciptakan transparansi anggaran, penegakan hukum dan sosialisasi nilai-nilai anti korupsi ke semua elemen masyarakat menjadi poin penting yang bisa ditiru oleh Negara yang mengikuti forum yang berlangsung di Hangzhou, China.

Foto Presiden Jokowi ketika menghadiri pembukaan KTT Hangzhou, China. (Gambar diambil dari kompas.com)
Foto Presiden Jokowi ketika menghadiri pembukaan KTT Hangzhou, China. (Gambar diambil dari kompas.com)
Entah memang Presiden kita menganggap bahwa pemberantasan korupsi yang dimotori oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berhasil atau hanya sebagai penggringan opini internasional bahwa Indonesia sedang sangat serius memberantas korupsi. Apapu alasannya, kita bisa menyaksikan bahwa Presiden Jokowi melanjutkan tradisi yang baik dari pemerintahan sebelumnya untuk memerangi tuntas kasus korupsi.

Di saat pemerintah kita membanggakan taring Indonesia dalam menyelesaikan masalah korupsi, ada fenomena yang kontras di tubuh pemerintahaan sendiri, yaitu revisi terkait Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Pada revisi PP ini menyebutkan bahwa seorang koruptor tidak perlu lagi ikut membantu penegak hukum membongkar tindak pidana yang melibatkan tersangka lainnya atau sebagai Justice collaborator. Jika sebelum revisi, PP ini menyebutkan bahwa menjadi syarat wajib bagi seorang koruptor jika ingin mendapatkan remisi. Poin ini dihilangkan dan disebutkan pada pasal 32 ayat 1 bahwa, untuk memperoleh remisi, seorang tahanan hanya wajib untuk berkelakuan baik dan telah melewati sepertiga masa tahanan.

Pro dan Kontra

Menurut Kemenkumham, PP Nomor 99/2012 bertentangan dengan asas persamaan perlakuan dan pelayanan yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Adanya PP Nomor 99/2012 menjadi batu sandungan bagi warga binaan yang terkena kasus korupsi, terorisme dan narkotika untuk mendapatkan remisi. Tak ayal rasa diskriminasi sering kali mengahantui di antara sesame narapidana. Hal ini juga bertentangan dengan semangat re-integrasi untuk menjadikan warga binaan sebagai sosok yang besih ketika balik ke masyarakat.

Hal ini memang sudah lama dikaji oleh kemenkumham melalui berbagai kajian. Pada tanggal 22/09/2015 kemenkumham melakukan Focus Group Discussion (FGD). FGD yang mengangkat tema “Menyikapi rencana pemerintah untuk revisi peratuan pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan”, dihadiri oleh perwakilan instansi terkait seperti Kemenkumham (Dirjen HAM dan PAS), BNN, Mabes Polri, dll. Turut hadir perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Elsam, ICJR, YLBHI, dll.

Dirjen HAM Kemenkumham, Dr. Mualimin Abdi SH MH, yang mengambil peran sebagai narasumber pada FGD tersebut menyatakan bahwa mengacu pada UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan khususnya Pasal 28 C Ayat (2), remisi adalah hak warga binaan pemasyarakatan, maka pemberiannya wajib diberikan tanpa mempertimbangkan hal lain, non diskriminasi dan tidak bertentangan dengan nilai keadilan, (komnasham.go.id)

Sementara dari kalangan Non-Governmental Organization yang pada kesempatan ini antara lain dihadiri oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan pendapat yang senada bahwa pada prinsipnya mereka tidak menolak pemberlakuan kebijakan remisi. Akan tetapi, masih menurut mereka, persoalan mendasar adalah pada revisi KUHP yang sesungguhnya telah memicu tindakan kriminalisasi yang cenderung berlebihan terhadap terduga pelaku pidana. “Permasyarakatan adalah tumpukan sampah karena menjadi penampung dari kriminalisasi yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa,” tukas Bahrain dari YLBHI. (komnasham.go.id)

ICW mengambil sikap yang sebaliknya. Dilansir dari kompas.com (13/08/2016), Anggota Divisi Hukum dan Monitoring ICW Laola Easter menyebut, merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan langkah yang proterhadap koruptor. "Substansi revisi usulan pemerintah itu jelas pro koruptor karena berupaya memberikan banyak celah dan peluang agar koruptor lebih banyak keluar penjara," jelas Laola di kantornya di Jakarta, Sabtu (13/8/2016). Laola juga menambahkan bahwa PP 99/2012 sudah sesuai dengan spirit pemberantasan korupsi.

Senada dengan ICW, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa konten revisi PP 99/2012 meringankan koruptor. "Menurut saya, suatu kemunduran kalau ada pemikiran menghapus syarat justice collabolator untuk remisi bagi koruptor” ujar Mahfud MD (kompas.com, 12/08/2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun