Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Santri Post-Islamisme Vs Santri Post-Sekularisme

23 Oktober 2018   04:37 Diperbarui: 23 Oktober 2018   05:08 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fase sekularisme telah berakhir. Kerinduan terhadap agama kembali menghinggapi pola hidup manusia. Comte, Marx, Freud boleh jadi salah. Teknologi dan positivisme terbukti tidak mampu menggeser peran agama.

Secara empiris, gejala post-sekularisme ini setidaknya bisa dijelaskan melalui beberapa hal. Pertama, menguatnya kajian keagamaan kontemporal. Beberapa pemikir mengkritik terhadap kecenderungan posivistik yang melahirkan kecenderungan alienasi manusia. Kemajuan telah menjadikan manusia terasing  dari realitasnya.

Di saat seperti itu, manusia memerlukan "iman" sebagai ekspresi diri dalam menyelesaikan problem hidupnya. Hardiman menguatkan tesisnya ini dengan kajian Habermas bersama Kardinal Ratzinger di Muenchen, bagaimana negara hukum sekuler dan nilai-nilai HAM banyak mengadopsi dari nilai-nilai teologi.

Kedua, fenomena pengungsi Suriah di Eropa. Keberadaan ISIS yang menjadikan Eropa banjir pengungsi, menjadi isu baru tentang pergumulan, agama, negara dan kemanusiaan. Pada titik tertentu, agama menjadi isu strategis, bagaimana nilai-nilai kemanusiaan itu berjalin-kelindan dengan agama.

Ketiga, dalam konteks Islam misalnya, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap pemeluk agama Islam. Sebuah lembaga kajian di Amerika, Pew Research Center  pernah membuat kajian tentang perkembangan agama-agama di dunia.

Hasil kajian tersebut menyatakan bahwa Islam menjadi agama yang paling pesat perkembangannya, mulai dari 1,6 miliar di tahun 2010 menjadi 2,76 miliar pemeluknya di tahun 2050. Dengan begitu, pemeluk Islam akan menjadi satu pertiga jumlah populasi dunia. Salah satu indikator penjelasnya adalah karena saat ini Islam banyak dianut oleh kalangan muda.

Di Eropa dan Amerika sendiri perkembangan Islam sangatlah pesat. Menguatnya kesadaran beragama -- tidak hanya Islam tentunya-- semakin memperkuat hipotesis, bahwa post-sekularisme adalah keniscayaan.

Di Indonesia, kecenderungan post sekularisme ini bisa kita lihat dari geliat keislaman di ruang publik. Mulai dari fenomena jilbab sampai Perda syariah kiranya bisa menjadi pembacaan terhadap fenomena ini.

Dalam ranah politik, betapa sentimen agama bisa dikonversi menjadi mobilisasi masa dan suara. Munculnya sosok ustad Abdus Shomad (UAS) yang populer melalui youtube adalah satu bukti bahwa kajian keagamaan makin menggeliat di negeri ini. Itulah mengapa para pendukung Prabowo merekomendasikan UAS untuk mendampinginya dalam rangka memenangkan Pilpres.

PKS boleh jadi menganggap Sandiaga sebagai santri, ulama atau apapun yang merepresentasikan agama. Namun menganggap Sandiaga sebagai bagian dari santri post islamisme kiranya kurang relevan.

Justru Sandiaga adalah representasi kalangan post sekularisme, para penemu "agama yang hilang", anak muda hijrah, dan seterusnya yang belakangan memang sedang menjadi trend. Agama, sepanjang sejarah memang telah menunjukkan sisi-sisi dinamis yang dimainkan oleh para tokohnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun