Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Santri Post-Islamisme Vs Santri Post-Sekularisme

23 Oktober 2018   04:37 Diperbarui: 23 Oktober 2018   05:08 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, Presiden PKS, Shohibul Iman pernah menyebut Sandiaga Uno sebagai santri era post islamisme. Pernyataan Presiden PKS ini jelas bukannya tanpa alasan, mengingat Sandiaga merupakan sosok yang akhirnya dipilih untuk mendampingi Prabowo dalam kontestasi pilpres 2019.

Mandat dari kalangan ulama yang menginginkan ada representasi ulama atau santri bagi pasangan Prabowo kiranya dimanifestasikan oleh PKS dengan mengkultus Sandiaga sebagai santri post-Islamisme. Dwitunggal nasionalisme-relijius, ulama-umaro akhirnya memaksa partai pengusung Prabowo ini harus melegitimasi sebagai sosok relijius, dengan membungkus term post-islamisme, sebuah jargon marketing untuk kalangan pemilih milenial.

Kiranya ada sedikit keanehan, ketika jargon post islamisme ini digelorakan oleh sebuah partai Islam PKS. Terminologi post-islamisme mengacu pada cara beragama yang melampaui rigiditas agama secara normatif.

Post islamisme bermaksud mendialogkan Islam dalam kerangka zaman dan modernisasi. Lebih pragmatis, begitu kira-kira ungkapan yang mendekati makna terminologi ini. Seseorang akan cenderung post islamisme ketika ia sudah berislam dengan "selesai", ini barangkali makna istilah post = melampaui.

Saya justru melihat gejala post islamisme ini menjangkiti kalangan santri, yang telah selesai dalam berislam. Mereka sudah terlalu "dalam" dalam mempelajari, mengkaji dan "ngaji" agama melalui lembaga-lembaga keagamaan. Sehingga mereka mampu mendialogkan ajaran agama dengan modernitas secara moderat, santai.

Post-Islamisme itu kira-kira mereka melampai ajaran islam, namun tidak serta-merta meninggalkannya. Sehingga mereka tidak sampai jatuh pada cara pikir beragama secara liberal.

Hal ini misalnya bisa kita simak melalui tulisan Ulil Abshor tentang post-Islamisme, di mana  ciri utama gerakan post-Islamisme, adalah kecenderungan mereka yang pragmatis, realistis, bersedia untuk kompromi dengan realitas politik yang tak sepenuhnya ideal dan sesuai dengan skema ideologis murni yang mereka yakini dan bayangkan.  

Nah ketika terminologi post-Islamisme ini dilekatkan pada sosok Sandiaga, kiranya tidak relevan. Di samping selama ini sosok Sandiaga tidak dikenal sebagai sosok santri, sosok yang bergelut dengan teks keagamaan, kemudian melakukan kompromi dengan modernitas.

Justru saya melihat sosok Sandiaga dan para pendukungnya adalah dari golongan post-sekularisme. Kelompok yang "baru" mengenal islam (agama), setelah mereka bergelut dengan sekularisme.

Post-Sekularisme

Budi Hardiman dalam sebuah artikel (Kompas 7/6/2016) pernah mengulas tentang kecenderungan post sekularisme.  Dalam pandangannya, dunia saat ini sedang memasuki satu babak yang disebut post-sekularisme. Sesuai dengan namanya, babak ini mengasumsikan bahwa orang mulai kembali kepada nilai-nilai agama, meninggalkan sekularisme yang pernah berjaya, khususnya di Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun