Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahar Politik dan "Cacat" Demokrasi

14 Oktober 2018   08:16 Diperbarui: 14 Oktober 2018   11:24 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hingar bingar kampanye Pemilu 2019 sudah mulai kita rasakan. Masa kampanye disesaki rivalitas antar kedua kubu, yang sesekali diselingi kegaduhan politik. 

Salah satu kegaduhan yang sempat meramaikan kontestasi politik ini adalah tentang mahar politik. Sandiaga disinyalir mengondisikan partai pengusung dengan dana besar, 500 milyar untuk masing-masing partai. Mahar politik Sandiaga, menjadi bola liar yang sampai saat ini masih bergulir di badan pengawas pemilu.

Adalah Andi Arif, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang awalnya melontarkan bola liar ini. Melalui cuitannya, koalisi Prabowo-AHY runtuh oleh mahar politik yang digelontorkan kepada dua partai pengusung, PAN dan PKS. Bahkan dalam cuit "amarah"nya tersebut, Andi Arif mengatakan sang jenderal sebagai jenderal kardus. Terminologi kardus pun akhirnya ramai dibicarakan, bahkan sempat menjadi trending topic.

Fenomena ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa mahar politik adalah nyata adanya. Di panggung depan, semua parpol tidak pernah ada yang mengakui adanya mahar atau biaya politik yang dibebankan kepada sang kandidat. Namun pada tataran panggung belakang, jual beli rekomendasi adalah sesuatu yang tidak dipungkiri lagi. 

Dan hal ini berlaku dalam konteks calon kepala daerah dan Calon Legislatif. Argumentasi  sebagai amunisi pemenangan dan kampanye barangkali bahasa yang sering dipakai untuk mengaburkan kecenderungan mahar politik ini. 

Anehnya, amunisi yang di luar jangkauan nalar ini seringkali mengundang pihak ketiga -- para pemodal -- untuk memainkan fenomena ini. Bayangkan, dari mana uang 500M yang digunakan untuk mahar politik dua partai ini? Mungkinkah uang sebesar itu adalah uang pribadi?

Ada beberapa dampak keberadaan mahar politik dalam sistem demokrasi. Pertama, mahar politik melahirkan politik biaya tinggi. Politik biaya tinggi ini, tentu saja melahirkan banyak madharat. Biaya politik yang tinggi, akan melahirkan kongsi politisi-pemodal, yang hal ini tentu saja memiliki efek samping: tersandra pada pemodal. 

Wajar jika ketika calon tersebut jadi presiden atau kepala daerah maka akan ada bayar hutang politik. Politik anggaran senantiasa "meminta restu" kepada para kongsi pemodal, sebagai balas jasa. Inilah mengapa banyak politisi dan kepala daerah yang terjaring kasus korupsi oleh KPK. 

Kedua, mahar politik menjadikan partai politik terbeli. Sebagai pilar demokrasi, partai politik merupakan elemen yang sangat menentukan dalam proses demokrasi. Lihat saja, tidak ada kontestasi politik yang tidak membutuhkan partai politik. Bahkan proses legislasi dan pembuatan peraturan undang-undang pun senantiasa melibatkan partai politik. 

Sampai sini, Partai diposisikan sebagai entitas demokrasi yang sangat signifikan. Ketika peran parpol sudah terdistorsi -- bisa dibeli -- maka kredibilitas Parpol sangat dipertanyakan. Sampai sini, demokrasi kita mengalami persoalan: salah satu pilarnya runtuh.

Ketiga, mahar politik akan melahirkan koalisi parpol yang terlibat di dalamnya hampa, kosong. Atau mengikuti terminologi yang sempat ramai, koalisi kardus. 

Koalisi kardus di sini bisa dipahami sebagai koalisi yang tidak berisi. Ibarat kardus kosong, bungkusnya saja yang bagus, namun dalamnya kosong, tidak ada apa-apa. 

Parpol koalisi kardus ini merasa sudah mendapatkan mahar yang diinginkan, persoalan selesai. Sebagai mesin politik, parpol koalisi kardus ini tidak akan memberikan kinerja yang maksimal. Jikalau ia bekerja, biasanya hanya formalitas belaka.  

Koalisi kardus tidak akan mampu membakar semangat para awak parpol sebagai mesin politik. Ia akan bekerja tidak berdasarkan afiliasi politik, namun transaksional. Ketika dibayar banyak, ia akan lari cepat, sebaliknya amunisi yang kecil menyebabkan loyo.

Di sisi lain, hilangnya ideologi partai dalam pemenangan kontestasi, akan menyebabkan strategi lain untuk "melecut" kinerja mesin politik. Salah satu yang bisa digunakan adalah politik identitas. Memainkan identitas tertentu, demi untuk meruntuhkan identitas lain yang dianggap tidak benar. 

Isu SARA adalah politik identitas yang paling gampang digunakan untuk mengaduk-aduk kesadaran fundamentalis pemilih. Jika ini terjadi, maka kegaduhan sebagaimana Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu akan terjadi lagi pada ajang Pilpres 2019 nanti.

Keempat, mahar politik bagaimanapun adalah haram hukumnya. Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pada pasal 228 ditegaskan bahwa partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Jika terbukti secara hukum, maka partai penerima imbalan akan mendapatkan sanksi tidak bisa mengajukan calon pada Pemilu berikutnya.

 Demokrasi memberi kita kebebasan berserikat dan berkehendak, namun kebebasan itu tidak serta merta menjadikan kita menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Diperlukan etika berpolitik dan paradigma politik santun untuk mewujudkan kontestasi nasional 2019 ini secara fair play, sportif. Dan parpol kiranya harus mempertimbangkan hal ini. Karena Parpol adalah wadah politik bagi warga negara untuk berpolitik secara legal dan konstitusional. Partai politik harus menjadi contoh bagi pendidikan politik yang beradab bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun