Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal
Muhamad Iqbal Mohon Tunggu... -

Pemikir Radikal, Rasional, Fundamental, Filosofis, Oposisi Pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilematika Objektivitas dan Political Interest - Paradoks Poverty Line

12 November 2018   22:00 Diperbarui: 13 November 2018   07:38 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai manusia yang punya akal dan menjunjung tinggi rasionalitas, tentu perkara objektivitas dalam memandang suatu realitas adalah kewajiban mutlak. Karena mekanisme kerja rasio adalah menggunakan rumusan logika yang bekerja dalam otak. Dari inderawi yang menangkap citra realitas, masuk ke dalam Thalamus lalu diteruskan ke korteks di Lobus Frontalis otak (sebelum masuk ke korteks, mampir di Amigdala untuk mendapatkan kesan afeksi / emosi) untuk proses berlogika, yaitu, pengumpulan berbagai premis dari memori terdahulu (ingatan akan suatu realitas, ingatan akan kesimpulan logika sebelumnya, atau ingatan akan ilmu pengetahuan, entah secara teoritisi maupun hasil eksperimental-nya) dan citra realitas yang baru saja ditangkap melalui proses inderawi untuk dimasukkan pada bangunan logika deduksi -- induksi -- kausalitas -- analogi (dimana bisa berlaku kombinatif) sehingga berakhir pada kesimpulan final logika. Ketika saya mengatakan "mekanisme kerja rasional", terdapat asumsi bahwa yang dominan dalam rangkaian proses tersebut adalah bangunan logikanya, bukan kesan afeksi-nya (dari Amigdala).

Maka dari itu, tetaplah satu yang sangat penting dalam proses kerja rasio adalah objektivitas data yang akan dimasukkan dalam premis logika. Artinya ketika yang akan dimasukkan dalam bangunan logika adalah mengenai suatu memori atas suatu realitas, maka memori afeksi phobia akan realitas tadi tak boleh ikut dimasukkan. Atau mengenai suatu ingatan teori ilmu pengetahuan tertentu, maka jangan sampai doktrin dan rumor tak logis tentangnya malah diikutsertakan. Karena akan berpengaruh besar pada kesimpulan logika-nya.

Namun ketika kita ingin untuk objektif dalam memandang suatu realitas, terdapat hambatan baru berupa intervensi kepentingan politik. Kepentingan politik bagaimana? Dalam konteks ini, yaitu suatu bentuk kepentingan praksis yang bukannya mengedepankan kepentingan nasional, kesejahteraan sosial atau masa depan demokrasi, namun mengedepankan kepentingan segelintir orang dalam pemerintahan yang hanya berhasrat untuk memempertahankan kekuasaan politik dengan cara apapun. Entah dengan penggiringan opini, propaganda hoaks, dan sebagainya. 

Melalui analisa mendalam, dalam banyak kebijakan / propaganda pemerintah berhasil menemukan titik terang yang kontradiktif dengan pernyataan resmi pihak istana negara. Berbagai klaim keberhasilan, klaim pembelaan, sikap politis Presiden terkuak sebagai sebuah dramaturgi perpolitikan, bukan sebagai upaya mencerdaskan bangsa ataupun mewujudkan kesejahteraan sosial. Campur tangan kepentingan politik itu lah yang membuat berbagai "truth claim" pemerintah menjadi hoaks yang merusak objektivitas publik dalam mengamati tatanan politik. Kini, pernyataan ataupun analisis institusi pemerintahan, tak bisa sepenuhnya diterima secara penuh sebelum membongkar kepentingan politik yang mengintervensi. Teorema "take it for granted" tak boleh berlaku lagi hanya karena yang mengatakan adalah pejabat atau analis dalam institusi pemerintahan dalam bidangnya sendiri.

POVERTY LINE VERSI BPS

Melalui situs resmi Badan Pusat Statistik, Indonesia menetapkan standar garis kemiskinan / poverty line pada angka 0,882 US Dollar, atau jika dirupiahkan senilai Rp. 13.374 (kurs Rupiah terhadap US Dollar = Rp. 15.150). Standar tersebut memiliki pemaknaan bahwa ketika dalam sehari 1 orang memiliki uang sejumlah kurang dari Rp. 28.785 dalam dalam satu hari untuk kebutuhan hidupnya, baru BPS akan menggolongkannya dalam kategori "miskin". Namun yang memiliki uang sejumlah batas poverty line atau lebih, tidak akan dianggap "miskin" secara statistik (versi BPS tentunya). Namun kalau melihat dari kelengkapan informasi, jelas bahwa memang demikian itu data resmi dari BPS. 

Akhirnya jika dihitung persentase penduduk kategori miskin, nilainya 9,82 dari total seluruh penduduk Indonesia. Bahkan ditekankan oleh Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers, "Untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin berada di dalam satu digit (9,82%)". Juga oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga menuturkan hal yang sama kepada wartawan, "For the first time in the history of Indonesia tingkat kemiskinan dibawah 10%". Secara ketatanegaraan, BPS juga merupakan salah satu lembaga negara yang independen selain KPU, KPK, Bawaslu, BPK, dan Bank Indonesia tentunya. Sehingga BPS bukan bawahan dari Presiden Jokowi ataupun menteri-menterinya. Bawahan dalam artian berada dalam kontrol penuh otoritas kekuasaan jabatan presiden. Sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada masyarakat Indonesia melalui publikasi hasil statistik dalam situs resmi.

Logikanya, ketika memang secara ketatanegaraan tak boleh ada campur tangan otoritas pemerintahan lainnya, maka secara metodologi statistik, standarisasi, dan publikasi hasil statistik pun berarti kan murni berasal dari analis statistik dalam lembaga tersebut, bukan dari Presiden, Menteri Keuangan, atau bahkan Menko Perekonomian. Secara eksplisit, kita akan mengiyakan hasil statistik tersebut dan ikut bersukacita atas keberhasilan rezim dalam menurunkan angka kemiskinan ke single digit.

Sekarang, ketika kita berbicara soal realitas yang terjadi ketika seseorang berbicara mengenai kondisi kemiskinan se-Indonesia. Beberapa saat setelah BPS mempublikasikan angka kemiskinan single digit, Presiden Jokowi ikut mempublikasikannya dan menambahkan ungkapan syukur dan bangga. 

Menteri Keuangan kita pun ikut berujar hal yang sama didepan awak media, berbagai media mainstream pemerintah pun ikut-ikutan memberitakan hal yang sama dengan menggunakan ungkapan memamerkan keberhasilan pemerintahan persis seperti pada publikasi statistik pada situs resmi BPS. Publikasi resmi dan non-resmi yang masif berdengung dalam telinga masyarakat, banyak pihak pula ikut meramaikan "suka cita" tersebut.

Namun, tak sedikit pula kritik terlontar atas fenomena "suka cita tersebut", dimana menyebutkan bahwa standarisasi poverty line tersebut tak masuk akal. Banyak pihak akhirnya bertanya, apakah BPS berbohong pada kita? Apa pemerintah juga berbohong dengan ikut memblow-up "suka cita" itu? Lalu bagaimana seharusnya poverty line yang sesuai kontekstual Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun