Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal
Muhamad Iqbal Mohon Tunggu... -

Pemikir Radikal, Rasional, Fundamental, Filosofis, Oposisi Pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilematika Objektivitas dan Political Interest - Paradoks Poverty Line

12 November 2018   22:00 Diperbarui: 13 November 2018   07:38 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sederhana, ketika ingin menentukan poverty line, variabel biaya hidup wajib diperhitungkan. Berdasarkan data resmi mengenai UMK (Upah Minimum Kota), didapatkan sampling pendapatan beberapa kota di Indonesia (membagi per 30 hari nilai UMK di Surabaya, Karawang, dan Trenggalek). Alasan mengapa mengambil 3 kota tersebut karena Karawang merepresentasikan UMK tertinggi nasional, sedangkan Surabaya merepresentasikan kota metropolitan sekaligus sebagai kota dengan UMK tertinggi se-Jawa Timur, dan Trenggalek mererpresentasikan kota dengan UMK terendah nasional. 

Maka, didapatkan interval angka interval angka Rp. 50.327 -- 120.175 sebagai proyeksi biaya hidup. iya jika diterapkan di daerah dengan biaya hidup rendah, angka 50.000-90.000 sehari masih masuk akal dijadikan poverty line, namun bagaimana dengan kawasan metropolitan dan kawasan non-metropolitan dengan biaya hidup lebih tinggi? Tentu butuh sekitar Rp. 110.000-120.175 sehari.

Jika dibandingkan, BPS hanya punya 1 poverty line yaitu US $0,882, sedangkan World Bank punya 3 poverty line yaitu US $1,90, kurs = Rp. 28,785 (Extreme Poverty / Kemiskinan Ekstrem); US $3,20, kurs = Rp. 48.480 (Lower Middle-income Poverty / Kemiskinan dengan Pendapatan Menengah Kebawah) dan US $5,50, kurs = Rp. 83.325 (Upper Middle-income Poverty / Kemiskinan dengan Pendapatan Menengah Keatas).

 Nah, kembali pada data BPS, dimana mereka menetapkan angka US $0,882 sebagai Poverty Line, tentu menjadi tak masuk akal, bukan? Jangankan jika dibandingkan dengan data World Bank, dengan kalkukasi proyeksi UMK dan biaya hidup Indonesia saja masih kalah rendah. Padahal dalam tiap program pengentasan kemiskinan, yang dijadikan standarisasi untuk mengukur tingkat keberhasilan program adalah poverty line dari BPS.

implikasinya, fenomena "singe digit" menjadi booming dalam tubuh pemerintahan, seolah menjadi catatan prestasi tersendiri, padahal faktanya tidak demikian. Yang tercatat "miskin" sangat sedikit (9,82%) karena memang standarnya terlalu rendah. Ini malah bukan menjadi hasil statistik yang akan menggelorakan hasrat bangsa untuk kontribusi dalam pengentasan kemiskinan, namun menjadi modal kepentingan politik untuk memblow-up "suka cita semu" akan turunnya angka kemiskinan. 

Akal publik akan tertipu akan ilusi "single digit" tersebut, objektivitas masyarakat dalam memandang fenomena kemiskinan akan kabur, hanya karena justifikasi bahwa "BPS adalah lembaga independen yang mustahil diitervensi kepentingan politik". Poverty line tersebut bukan baru saja dirancang oleh BPS, tapi sudah berlaku bertahun-tahun tanpa adanya perubahan sedikitpun. Ada apa gerangan? Jika analis BPS itu netral dan independen, tentu sudah lama mereka melakukan revisi poverty line, dengan asumsi wawasan mereka atas data World Bank dan proyeksi biaya hidup Indonesia. 


Ternyata, kita dapatkan dari rangkaian analisa diatas, analis BPS terbukti tak netral. Karena jika murni netral dan independen, poverty line akan melonjak tinggi dan pemerintah kita tak akan punya modal data statistik apapun untuk "bersuka cita". Ini baru objektivitas yang murni, tak terikat akan kepentingan politik manapun, tak terikat pernyataan resmi pemerintah bagaimanapun, tak terikat justifikasi  atas independensi BPS, namun melihat langsung realitas standarisasi kemiskinan dengan objektivitas yang terukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun