Anak-anak sekolah membantu menanam bibit Cocor Bebek di setiap sudut halaman. Lila ikut menulis papan kecil bertuliskan:
"Cocor Bebek --- Daun Kehidupan. Menyembuhkan tanpa menyakiti bumi."
Bu Mira kini sudah pulih sepenuhnya. Ia mengajar ibu-ibu desa membuat ramuan antiseptik alami dari daun itu. Para warga belajar memanfaatkan daun tanpa merusak tanaman induknya, sesuai ajaran Pak Rahmat: "Ambillah secukupnya, sisakan untuk kehidupan lain."
8. Jembatan antara Desa dan Kota
Beberapa bulan kemudian, hasil penelitian dari kota diterbitkan di jurnal ilmiah nasional. Nama Pak Rahmat tercantum sebagai kontributor utama.
Universitas mengundangnya memberi ceramah di kota tentang Sinergi Ilmu dan Alam Desa.
Dalam pidatonya yang sederhana namun menyentuh, ia berkata:
"Saya bukan ilmuwan besar. Saya hanya melihat bahwa daun yang tumbuh di pinggir jendela bisa menjadi jembatan antara manusia dan penciptanya. Alam tidak pernah menuntut, ia hanya memberi. Tinggal kita yang mau mendengarkan atau tidak."
Tepuk tangan bergema panjang. Di antara kerumunan, Lila duduk dengan bangga. Ia tahu ayahnya bukan sekadar guru, tapi penjaga pengetahuan yang tumbuh dari tanah sendiri.
9. Daun yang Menyimpan Doa
Suatu sore, kembali di rumah, Pak Rahmat duduk di bawah pohon jambu, memandang deretan Cocor Bebek yang berkilau diterpa sinar senja.
Lila mendekat sambil membawa buku tugasnya.
"Pak, bolehkah aku menulis tentang tanaman ini untuk lomba sains sekolah?"
"Tentu, Nak. Tulislah dengan hatimu. Ceritakan bahwa daun ini pernah menyembuhkan ibumu, menghidupkan harapan desa, dan mempertemukan kita dengan orang-orang baik di kota."
Lila tersenyum. "Aku akan menulis bahwa daun Cocor Bebek itu seperti doa yang punya akar."
Pak Rahmat menatapnya lembut. "Benar, Lila. Doa itu hijau. Ia tumbuh di mana pun ada kasih."
10. Epilog: Warisan Hijau
Beberapa tahun kemudian, Desa Labuaja menjadi percontohan nasional dalam pengelolaan tanaman obat keluarga.
Produk salep herbal berbahan Cocor Bebek kini dipasarkan ke berbagai daerah dengan label "Hijau Rahmat", nama yang diberikan warga sebagai penghargaan kepada sang guru.
Lila tumbuh menjadi mahasiswa biologi dan melanjutkan penelitian ayahnya di bidang botani molekuler. Ia sering berkata di setiap seminar:
"Ilmu pengetahuan sejati bukanlah yang menjauhkan manusia dari alam, tapi yang membuatnya pulang dengan rasa hormat."
Dan di halaman rumah tua mereka yang tetap asri, daun-daun Cocor Bebek terus tumbuh, mengajarkan keabadian sederhana: bahwa kehidupan bisa tumbuh dari luka, harapan bisa lahir dari kesederhanaan, dan cinta bisa menyembuhkan lebih dari sekadar tubuh.