Hijau yang Menyusui Harapan
Karya: Muhalbir
1. Pagi yang Menumbuhkan Harapan
Kabut masih menggantung di antara rumpun bambu di ujung desa Lembang Jaya. Dari kejauhan, kokok ayam jantan memecah sunyi, disambut desir angin yang membawa aroma tanah basah. Di halaman rumah panggung sederhana milik Pak Amir, tampak seorang wanita paruh baya sedang menyiangi sayur di belakang dapur.
"Bu, sayur apa itu?" tanya Nanda sambil membawa ember air.
"Sama seperti kemarin, Nak. Sayur bening daun katuk. Lumayan segar untuk sarapan," jawab ibunya, Bu Rini, sambil tersenyum.
Nanda menatap daun-daun hijau kecil di tangan ibunya. Sudah bertahun-tahun ia melihat tanaman itu tumbuh liar di belakang rumah, tanpa pernah berpikir bahwa di balik kesederhanaannya mungkin tersimpan rahasia besar.
"Katuk ya, Bu? Di kota juga sering disebut daun ibu menyusui," gumamnya pelan.
Ibunya tertawa kecil. "Ah, itu cuma kata orang. Di sini, siapa saja boleh makan, asal suka. Rasanya agak pahit tapi segar."
Nanda mengangguk, tapi pikirannya mulai berkelana. Sejak kembali dari kampusnya di Makassar untuk libur panjang, ia ingin melakukan penelitian kecil tentang tanaman lokal. Ia merasa banyak tumbuhan di desanya yang belum benar-benar dikenal manfaat ilmiahnya.
Dan daun katuk tiba-tiba menarik perhatiannya.
2. Kebun Kecil di Belakang Rumah
Sore harinya, Nanda berjalan ke belakang rumah. Di sana tumbuh deretan tanaman liar: pegagan, sambiloto, bayam merah, dan beberapa rumpun katuk setinggi lutut. Daunnya rimbun, hijau pekat, dengan aroma khas bila diremas.
Ia memetik beberapa helai lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik kecil.
"Kupikir tanaman ini layak diuji," katanya sambil mencatat dalam buku kecil.