Mohon tunggu...
mufazazafay
mufazazafay Mohon Tunggu... Siswi

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Terhalang Teman

22 Februari 2025   11:10 Diperbarui: 22 Februari 2025   11:10 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menatap langit senja dari jendela kamar, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Sudah sekian lama aku menyimpan perasaan ini, perasaan yang tak seharusnya ada. Aku mencintai seseorang, namun temanku juga mencintainya. 

Namaku Ridwan, siswa kelas 12 semester akhir yang selalu menyibukkan diri dengan tugas dan ujian akhir. Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang tak bisa kuhindari, perasaanku terhadap Ara. Dia adalah perempuan yang lembut, cerdas, dan selalu bersikap baik kepada siapa saja. Aku jatuh cinta pada senyumannya, pada caranya berbicara, bahkan pada hal-hal kecil yang mungkin tak disadari orang lain.

Namun, ada satu masalah. Temanku Yusuf, ia juga menyukainya, ia adalah temanku sejak MTs. Ia sudah mencintai Ara selama 5 tahun, dan aku menjadi saksi bahwa Yusuf menembak Ara. Aku ada di sana saat Yusuf menyatakan perasaannya kepada Ara. Aku melihat bagaimana Ara tersipu malu menerima cinta Yusuf. Aku pun ada di sana ketika mereka melewati masa-masa sulit dalam hubungan mereka.

Awalnya, aku menganggap perasaan ini hanya sebatas kagum. Namun, semakin lama, semakin sulit bagiku untuk mengabaikannya. Aku tahu ini salah. Aku tahu aku seharusnya tidak jatuh cinta pada Ara. Namun, hatiku seolah tak mau diajak kompromi.

Suatu sore, kami bertiga bertemu di kantin sekolah. Yusuf tengah sibuk membicarakan rencananya untuk meyakinkan Ara kembali setelah lulus nanti.

"Gue udah mantap, wan. Setelah lulus, gue mau langsung kerja dan yakinin Ara. Gue nggak mau buang waktu lagi," ucap Yusuf penuh semangat.

Aku hanya tersenyum tipis, berusaha menutupi rasa sesak di dadaku. Ara yang duduk di sebelahnya tersenyum malu-malu, dan aku tahu betapa bahagianya dia mendengar rencana itu.

"Wah, bagus dong. Gue doain semua lancar," ucapku, meski dalam hati aku ingin sekali berteriak.

Ara menatapku, dan untuk sesaat aku merasa ada sesuatu dalam tatapan itu. Apakah hanya perasaanku saja, atau ada keraguan di matanya? Namun, aku segera mengenyahkan pikiran itu. Ara mencintai Yusuf, dan aku hanyalah seorang teman yang harus mendukung mereka.

Beberapa minggu berlalu, dan aku semakin sulit menyembunyikan perasaanku. Aku mulai menjaga jarak dari mereka, terutama dari Ara. Namun, suatu hari, Ara tiba-tiba mengirim pesan padaku.

"Ridwan, bisa ketemu sebentar? Ada yang mau aku omongin."

Aku ragu, tapi akhirnya aku mengiyakan. Kami bertemu di taman sekolah, tempat yang sepi dan jauh dari keramaian.

"Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauh, wan?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Aku terkejut dengan pertanyaannya. "Enggak kok, cuma sibuk aja."

Ara menghela napas. "Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu yang berubah. Kamu nggak seperti biasanya."

Aku menelan ludah, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Namun, sebelum sempat menjawab, Ara melanjutkan.

"Aku juga merasakannya, wan. Sesuatu yang berbeda antara kita."

Deg! Jantungku berdetak lebih kencang. Apa maksudnya? Apakah dia juga memiliki perasaan yang sama?

"Aku nggak tahu ini perasaan apa, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku merasa nyaman saat bersamamu. Dan itu membuat aku takut, karena aku nggak seharusnya merasa seperti ini," lanjutnya dengan suara pelan.

Aku menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah pengakuan yang selama ini tidak pernah aku bayangkan akan keluar dari mulut Ara. 

"Ara, kita nggak bisa seperti ini," ujarku akhirnya. "Kamu tahu Yusuf mencintaimu. Dia temenku. Dan aku... Aku nggak mau mengkhianati dia."

Ara menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu. Dan justru itu yang membuat semuanya lebih sulit. Aku nggak mau menyakiti Yusuf. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perasaanku sendiri."

Kami terdiam cukup lama, membiarkan angin sore berhembus di antara kami. Aku tahu ada banyak hal yang ingin kukatakan, tetapi semua kata terasa tak berarti. Pada akhirnya, aku hanya bisa berkata,

"Kita harus mengakhirinya sebelum semuanya terlambat."

"Tapi sebenarnya aku nggak ada perasaan sama dia, wan." Kata Ara. 

Aku menyangkal pernyataan Ara, 

"Tapi kita nggak boleh egois Ra."

Ara mengangguk pelan, meski aku bisa melihat kesedihan di matanya. "Kamu benar, kita nggak boleh egois." Dengan suara pelan. 

Aku pun pergi meninggalkan Ara yang sedang menangis. 

Sejak pertemuan itu, aku kembali menjaga jarak. Aku membenamkan diriku dalam kesibukan, mencoba mengalihkan pikiranku dari Ara. Aku tahu ini yang terbaik, meskipun rasanya seperti mengiris hati sendiri.

Beberapa tahun kemudian, aku menerima undangan pernikahan dari Yusuf dan Ara. Aku menatap kartu undangan itu cukup lama sebelum akhirnya tersenyum pahit. Aku tahu aku sudah mengambil keputusan yang benar. Aku harus bahagia untuk mereka, walau dalam hati aku masih menyimpan luka yang tak terlihat.

Di hari pernikahan mereka, aku berdiri di antara para tamu, melihat bagaimana Yusuf dan Ara mengucapkan janji suci mereka. Ara sempat menatapku, dan aku hanya mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dan begitulah akhirnya. Cinta ini tetap tersimpan di dalam hati, tak pernah terucap lebih dari yang seharusnya. Karena ada hal-hal yang lebih penting daripada perasaan, seperti persahabatan dan kesetiaan.

Aku melangkah keluar dari gedung pernikahan, membiarkan angin membawa pergi semua rasa yang masih tertinggal. Hari ini, aku belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang merelakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun