Kami terdiam cukup lama, membiarkan angin sore berhembus di antara kami. Aku tahu ada banyak hal yang ingin kukatakan, tetapi semua kata terasa tak berarti. Pada akhirnya, aku hanya bisa berkata,
"Kita harus mengakhirinya sebelum semuanya terlambat."
"Tapi sebenarnya aku nggak ada perasaan sama dia, wan." Kata Ara.Â
Aku menyangkal pernyataan Ara,Â
"Tapi kita nggak boleh egois Ra."
Ara mengangguk pelan, meski aku bisa melihat kesedihan di matanya. "Kamu benar, kita nggak boleh egois." Dengan suara pelan.Â
Aku pun pergi meninggalkan Ara yang sedang menangis.Â
Sejak pertemuan itu, aku kembali menjaga jarak. Aku membenamkan diriku dalam kesibukan, mencoba mengalihkan pikiranku dari Ara. Aku tahu ini yang terbaik, meskipun rasanya seperti mengiris hati sendiri.
Beberapa tahun kemudian, aku menerima undangan pernikahan dari Yusuf dan Ara. Aku menatap kartu undangan itu cukup lama sebelum akhirnya tersenyum pahit. Aku tahu aku sudah mengambil keputusan yang benar. Aku harus bahagia untuk mereka, walau dalam hati aku masih menyimpan luka yang tak terlihat.
Di hari pernikahan mereka, aku berdiri di antara para tamu, melihat bagaimana Yusuf dan Ara mengucapkan janji suci mereka. Ara sempat menatapku, dan aku hanya mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dan begitulah akhirnya. Cinta ini tetap tersimpan di dalam hati, tak pernah terucap lebih dari yang seharusnya. Karena ada hal-hal yang lebih penting daripada perasaan, seperti persahabatan dan kesetiaan.