Aku ragu, tapi akhirnya aku mengiyakan. Kami bertemu di taman sekolah, tempat yang sepi dan jauh dari keramaian.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauh, wan?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Aku terkejut dengan pertanyaannya. "Enggak kok, cuma sibuk aja."
Ara menghela napas. "Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu yang berubah. Kamu nggak seperti biasanya."
Aku menelan ludah, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Namun, sebelum sempat menjawab, Ara melanjutkan.
"Aku juga merasakannya, wan. Sesuatu yang berbeda antara kita."
Deg! Jantungku berdetak lebih kencang. Apa maksudnya? Apakah dia juga memiliki perasaan yang sama?
"Aku nggak tahu ini perasaan apa, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku merasa nyaman saat bersamamu. Dan itu membuat aku takut, karena aku nggak seharusnya merasa seperti ini," lanjutnya dengan suara pelan.
Aku menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah pengakuan yang selama ini tidak pernah aku bayangkan akan keluar dari mulut Ara.Â
"Ara, kita nggak bisa seperti ini," ujarku akhirnya. "Kamu tahu Yusuf mencintaimu. Dia temenku. Dan aku... Aku nggak mau mengkhianati dia."
Ara menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu. Dan justru itu yang membuat semuanya lebih sulit. Aku nggak mau menyakiti Yusuf. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perasaanku sendiri."