Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan dari Puncak Sumbing

12 Agustus 2022   08:53 Diperbarui: 12 Agustus 2022   09:02 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dio menoleh padaku, meminta persetujuan apakah aku mau melanjutkan atau istirahat sejenak. Rasa penasaran membuatku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Masih butuh sekitar 2 jam untuk sampai ke puncak. Dari tempat ini aku mulai bisa melihat bibir kawah secara samar-samar. Kepulan asap dan aroma kawah sangat menyengat.

Dio menyuruhku berhenti sesekali agar aku dapat menarik napas panjang. Kepulan asap beraroma belerang mulai menyesak dada, sementara jalan mendekati puncak makin berkelok dan penuh kerikil tajam. Alurnya juga makin curam dan yang paling menantang adalah ketika melewati tanah putih yang berada sekitar dua tanjakan sebelum mencapai puncak.

Tenaga yang terkuras seakan penuh kembali ketika sebuah papan penanda muncul di hadapanku. Artinya hanya beberapa puluh meter lagi sampai ke puncak. Kami memilih jalur menuju puncak kawah Sumbing yang tidak begitu popular. Ketika sampai di persimpangan tadi, Restu memutuskan untuk tidak memilih jalan menuju puncak satunya yang lebih banyak diminati pendaki lain. 

Dari sini, kepulan asap kawah yang tebal membuat gunung Sumbing terasa panas.  Aku membelakangi kawah, dan seketika memekik takjub. Pemandangan di hadapanku benar-benar membuatku sadar.  Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing seakan membentuk bentang alam gunung kembar yang sangat indah,  Menyihir pikiran dengan rasa kagum.  Betapa diri ini begitu kecil di tengah ciptaan-Nya yang Maha Agung.

Ada yang mengusik pandangan mata, ketika tatap ini terpaku pada seorang perempuan sepuh berusia sekitar enam puluhan tahun bahkan mungkin lebih. Sama sekali tidak menampakkan raga yang dimakan usia, tetap jumawa berdiri perkasa dengan senyum melengkung menghias wajahnya yang sebagian sudah dipenuhi keriput.

"Bu Yuni," sapaku sambil meraih tangannya, mencium punggung tangannya penuh takzim.

"Siapa?" balas perempuan sepuh itu dengan sorot ramah. Meski tak mengenaliku, tapi sikapnya tetap santun.

"Kita pernah bertemu di gunung Slamet setahun yang lalu. Saya Tiar dari Surabaya," ujarku berusaha menjelaskan.

"Oh, Maaf saya lupa," sesalnya masih dengan senyum ramah, "maklum saya sudah tua."

"Tapi justru Bu Yuni punya semangat yang lebih membara dibanding saya. Kalah jauh saya," kilahku merendah.

"Ha ha ha, Mbak Tiar bisa saja," gelaknya sambil tertawa dengan logat Purwokertonya yang sangat kental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun