Jika musibah yang terjadi di awali dari sikap dan perilaku masyarakatnya yang dholim, penuh kemungkaran dan pelanggaran terhadap etika atau norma agama dan negara maka musibah itu bentuk dari siksaan atau hukuman dari Allah atas ketidak patuhan kepada perintah Allah Swt dan Rasul-Nya.Â
Masyarakat mensikapi musibah tersebut juga dilakukan secara negatif yaitu dengan adanya musibah masyarakat justru tidak semakin sadar akan kesalahan dan dosa yang diperbuat sehingga semakin jauh atau ingkar kepada Perintah dan larangan Sang Pencipta Alam semesta ( Allah SWT). Â
Musibah berupa bencana alam yang menimpa kepada kaumnya Nabi Nuh, Nabi Hud (kaum Ad), dan Nabi Sholih (kaum Tsamud) bukti nyata bahwa hal itu merupakan hukuman (siksaan), karena bencana yang di turunkan akibat kesombongan, kedholiman, kemungkaran dan pembangkangan atas perintah Tuhan dan Rasul-Nya. Meskipun sudah diturunkan bencana alam sebagai suatu hukuman, masyarakat saat itu tidak semakin sadar akan kesalahan, melainkan tetap semakin sombong dan tidak percaya keuasaan Allah SWT.
Sebagai orang yang beragama (beriman), semua musibah harus dianggap sebagai ujian kehidupan agar kita menjadi orang yang terbaik di mata Allah Swt. Konsekuensinya musibah harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi kekurangan, kesalahan dan dosa dosa yang telah diperbuat (Muhasabah) dan berupaya untuk selalu dekat kepada Allah Sang Maha Pencipta  dengan cara memperbanyak amal baik, berdzikir, bersholawat, memperkuat persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan menghargai serta saling membantu  satu dengan lainnya.
Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd Peneliti Tasamuh Indonesia Mengabdi (TIME) Jawa Tengah, Dosen IAIN Kudus.