Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harmoni Beragama

21 Mei 2018   07:53 Diperbarui: 21 Mei 2018   08:52 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua agama khususnya Islam diturunkan untuk menciptakan kedamaian, ketenangan dan kemaslahatan bagi semua yang ada di bumi ini. Ayat yang berbunyi Wamaa Arsalnaaka illa Rahmatan lil'alamiin ( Dan tidaklah Kami (Allah swt) mengutus engkau (Muhammad SAW), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam ( QS. Al Anbiya: 107), membuktikan bahwa Islam memiliki misi utama menciptakan kedamaian tidak hanya untuk sesama umat Islam (Muslim) tetapi juga kepada semua manusia apapun agamanya.

 Islam sebagai agama bersifat utuh dan komprehensif, artinya Islam akan tegak lurus mampu mengemban misi mewujudkan kedamaian jika para pemeluknya memiliki cara fikir dan pemahaman dengan menggunakan pendekatan dari berbagai aspek kehidupan (multi pendekatan). Setidaknya menggunakan cara fikir atau pemahaman kontekstual, tidak yang bersifat tekstual dan dogmatik formal. mengapa demikian? karena ayat al qur'an dan hadis memiliki makna untuk menjawab tantangan atau problem kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat. Teks ayat dan hadis tetap sepanjang zaman, tetapi cara memahami atau memaknai isi atau pesan harus disesuaikan dengan persoalan masyarakat. Banyak ayat dan hadis yang memerlukan pemahaman dari berbagai ahli (ulama) sehingga ayat dan hadis itu melahirkan perbedaan pandangan /ikhtilafiyah).

 Di era yang disebut globalisasi dimana problem atau tantangan kehidupan manusia semakin hari makin kompleks, harus diimbangi dengan cara fikir yang kreatif dan kontekstual, bukan malah sebaliknya disikapi dengan cara fikir dogmatis dan tekstualis. Di zaman yang moderen dimana manusia harus semakin kuat dalam membangun komunikasi dan saling menghargai perbedaan justru diikuti dengan sikap dan perilaku saling hujat, satu dengan lainnya dengan alasan dakwah Islam, amar makruf, menegakan agama, menjaga akidah, jihad dan lain sebagainya. masing masing orang dna kelompok merasa memiliki hak untuk menghakimi atau menjustifikasi kesalahan dan dosa orang lain.

 Dalil "Man Tasyabbaha Bi Qaumin Fahuwa Minhum" yang disampaikan juru dakwah dengan pemahaman tekstualis dan dogmatis seakan akan menjadi pembenaran untuk saling menjustifikasi perbuatan sesama muslim yang dianggap kafir dan juga bid'ah. Berbekal dalil tersebut, mereka melarang meniup terompet, memakai pakaian yang mirip orang non muslim, membunyikan lonceng dengan alasan menyerupai kaum non muslim sehingga termasuk bagian dari orang kafir. Lebih jauh lagi mereka tidak segan segan melarang para penjual terompet dan menjual lonceng alasan menyerupai kaun kafir. Lebih parah lagi, pada saat bulan desember, beredar fatwa/pendapat yang dishare lewat berbagai media sosial yang mengatakan bahwa mengucapkan selamat natal kepada kaum nasroni berarti merusak keyakinan atau keimanan umat Islam karena dianggap menagkui kelahiran yesus, mengakui Tuhan yesus sebagai tuhannya orang nasrani.

 Bagaimana mungkin menuliskan atau mengucapkan selamat natal kepada orang nasrani bisa merusak keyakinan? Kalau alasannya mengakui kelahiran Yesus dan mengakui Yesus sebagai Tuhan kaum nasrani, maka tidak usah dengan cara mengucapkan selamat natal, juga bisa dikategorikan mengakui kelahiran Yesus dan juga mengakui Yesus sebagai Tuhannya kaum nasrani. Kita sebagai bangsa Indonesia juga telah mengakui Kristen sebagai agama remi di Indonesia, ketika kita mengakui agama kristen sebagai agama resmi di Indonesia secara otomaatis kita juga telah mengakui Tuhannya orang kristen dan sekaligus mengakui kirab sucinya orang kristen. Ketika kita liburan di tanggal 25 desemebr, berarti juga telah mengakui adanya hari natal dan secara otomaatis juga telah mengakui hari kelahiran Yesus.

 Harmoni beragama di Indonesia terasa semakin jauh dari harapan, jika para pemeluk agama (Islam Khususnya) memiliki cara pandang tekstual atau dogmatis yang hanya akan melahirkan pemahaman formal atau hitam putih. Agar harmoni beragama dapat tercapai, maka diperlukan pemahaman dan cara fikir yang kontekstual terhadap ayat al qur'an dan hadis. Boleh kita berbeda pemahaman tetapi jangan sampai menghukumi perbuatan seseorang. Justifikasi atau menentukan seseorang kafir atau msyrik dan juga bid'an tidak menjadi kewenangan manusia. Tugas manusia hanya berihtiyar untuk melakukan hal yang terbaik untuk dirinya sendiri dan saling menghargai dan menghormati terhadap keyakinan masing masing. Jika ingin melakukan amar makruf juga harus dilakukan dengan yang makruf, jangan sampai melakukan amar ma'ruf tetapi di lakukan dengan cara cara yang mungkar.

 Harmoni beragama merupakan sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia yang secara realitas multi agama, multi suku, multi etnis dan multi warna kulit. Kita harus bisa mengurangi dan menghilangkan saling klaim kebenaran untuk digeser saling menghargai dan menghormati perbedaan.

Penulis adalah Sekretaris Majelis Alumni IPNU Jawa Tengah, Dosen STAIN Kudus dan peneliti Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi (Time) Jawa Tengah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun