Mohon tunggu...
Muazarah SausanWadhiah
Muazarah SausanWadhiah Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum

Penikmat isu-isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Produktivitas Beracun (Toxic Productivity): Antara Prestasi dan Tekanan Sosial Dalam Mayarakat Digital

2 Juli 2025   10:30 Diperbarui: 2 Juli 2025   10:30 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat global, termasuk Indonesia, mengalami pergeseran besar dalam nilai-nilai sosial dan budaya, terutama berkaitan dengan cara kita memaknai produktivitas. Di era digital saat ini, muncul fenomena yang semakin kuat dan tersebar luas: budaya produktivitas beracun atau toxic productivity. Fenomena ini mencerminkan keadaan ketika seseorang merasa harus selalu produktif, bahkan di luar jam kerja atau waktu belajar, hingga mengabaikan kebutuhan dasar seperti istirahat, rekreasi, dan hubungan sosial. Budaya ini ditandai dengan rasa bersalah yang muncul ketika seseorang tidak sedang melakukan aktivitas yang dianggap "bermanfaat" atau "menghasilkan".

Toxic productivity telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda, mahasiswa, dan pekerja urban yang hidup dalam tekanan sosial media dan tuntutan pasar kerja yang semakin kompetitif. Slogan-slogan seperti "tidur untuk yang gagal," "produktif 24/7," atau "sukses di usia muda" menjadi mantra baru dalam kehidupan digital. Berbagai platform media sosial dipenuhi konten motivasi yang mengglorifikasi kerja keras tanpa henti, menjadikan produktivitas bukan sekadar kebutuhan ekonomi, tetapi juga simbol status sosial.

Fenomena ini bukan hanya soal kebiasaan individu, melainkan bagian dari sistem sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, teori sosiologi menjadi alat penting untuk membaca dan memahami akar dari toxic productivity. Salah satu pendekatan yang paling relevan adalah pemikiran Karl Marx. Marx, sebagai sosiolog dan ekonom klasik, memberikan kerangka konseptual yang tajam dalam memahami bagaimana sistem kapitalisme membentuk kesadaran manusia dan menciptakan bentuk-bentuk baru dari penindasan dan eksploitasi.

Menurut Marx, sistem kapitalisme menempatkan kerja sebagai pusat dari kehidupan manusia. Dalam sistem ini, manusia dinilai berdasarkan kapasitasnya untuk memproduksi. Produktivitas bukan hanya cara untuk bertahan hidup, tetapi telah menjadi ukuran nilai sosial seseorang. Ketika seseorang tidak bekerja atau tidak tampak produktif, ia dianggap gagal, malas, atau tidak bernilai. Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar munculnya budaya produktivitas beracun.

Salah satu konsep utama dalam pemikiran Marx yang sangat relevan dalam konteks ini adalah konsep alienasi (keterasingan). Dalam sistem kapitalisme, pekerja mengalami keterasingan dalam empat aspek: (1) keterasingan dari hasil kerjanya, (2) keterasingan dari proses kerja, (3) keterasingan dari sesama manusia, dan (4) keterasingan dari dirinya sendiri. Masing-masing aspek ini sangat jelas terlihat dalam praktik budaya produktivitas beracun.

Pertama, keterasingan dari hasil kerja terjadi ketika individu tidak merasakan hubungan emosional atau personal terhadap hasil dari aktivitasnya. Dalam dunia kerja modern, hasil produktivitas seseorang sering kali dimiliki oleh perusahaan atau institusi. Seseorang dapat bekerja keras menghasilkan konten, data, atau produk, namun tidak memiliki kontrol atau kepemilikan atas hasil tersebut. Dalam budaya toxic productivity, bahkan waktu luang seseorang berubah menjadi ajang untuk menghasilkan sesuatu yang bisa dibagikan atau dipamerkan, seperti konten media sosial, proyek sampingan, atau prestasi tambahan. Akibatnya, nilai dari aktivitas itu menjadi eksternal, bukan berasal dari kepuasan pribadi, melainkan dari pengakuan sosial.

Kedua, keterasingan dari proses kerja berarti bahwa aktivitas kerja tidak lagi dinikmati sebagai proses yang bermakna, melainkan sebagai kewajiban atau beban. Banyak individu yang menjalani rutinitas produktif secara mekanis: bangun pagi, bekerja hingga larut malam, lalu mengulangi siklus yang sama setiap hari. Bahkan kegiatan yang seharusnya menyenangkan seperti membaca, menulis, atau berkarya pun dikemas dalam target kuantitatif. Tidak ada ruang untuk kegagalan, eksperimen, atau hanya sekadar bersenang-senang. Semua kegiatan harus memiliki output, harus terlihat produktif.

Ketiga, keterasingan dari sesama manusia menjadi sangat nyata dalam era digital. Media sosial menciptakan budaya perbandingan yang ekstrem. Orang-orang lebih sibuk membandingkan pencapaiannya dengan orang lain ketimbang membangun hubungan sosial yang otentik. Hubungan antar manusia menjadi transaksional: siapa yang lebih sibuk, siapa yang lebih sukses, siapa yang lebih pantas dikagumi. Dalam dunia toxic productivity, empati tergeser oleh kompetisi. Solidaritas sosial memudar karena setiap individu sibuk mengejar eksistensinya masing-masing.

Keempat, dan yang paling mendalam, adalah keterasingan dari diri sendiri. Marx menyatakan bahwa dalam sistem kapitalisme, manusia kehilangan kemanusiaannya karena tidak lagi mampu menentukan tujuan hidupnya sendiri. Dalam toxic productivity, seseorang bahkan merasa bersalah jika tidak sibuk. Ia tidak lagi mengenal dirinya sebagai makhluk yang berhak untuk istirahat, menikmati hidup, atau melakukan hal tanpa tujuan ekonomi. Ia menjadi makhluk yang terus-menerus mengejar validasi eksternal.

Konsep-konsep Marx lainnya yang relevan adalah eksploitasi dan ideologi. Eksploitasi dalam kapitalisme terjadi bukan hanya dalam bentuk fisik atau ekonomi, tetapi juga psikologis. Dalam toxic productivity, individu dieksploitasi oleh harapan-harapan sosial yang membuat mereka terus merasa kurang. Waktu istirahat diubah menjadi waktu produktif. Bahkan saat berlibur, seseorang merasa perlu menghasilkan konten atau proyek. Eksploitasi tidak lagi membutuhkan pengawasan dari luar; cukup dengan tekanan sosial dan algoritma platform digital, individu dapat menekan dirinya sendiri tanpa henti.

Ideologi dalam kapitalisme menurut Marx adalah cara berpikir dominan yang diproduksi oleh kelas yang berkuasa untuk mempertahankan status quo. Dalam toxic productivity, ideologi ini terwujud dalam bentuk narasi motivasi: "kerja keras pasti sukses," "tidak ada hasil tanpa usaha," "tidur itu untuk yang gagal." Semua narasi ini membungkus eksploitasi dalam tampilan yang manis. Mereka tidak tampak sebagai tekanan, tapi sebagai inspirasi. Padahal sejatinya, narasi-narasi tersebut membentuk individu menjadi pekerja ideal kapitalisme: tidak banyak bertanya, terus bekerja, dan tidak pernah merasa cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun