Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Orang Gila

11 Januari 2022   11:59 Diperbarui: 11 Januari 2022   12:05 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apakah orang gila bisa bermimpi? Ia tengah melepaskan dirinya

selembar demi selembar sampai sepenuhnya

telanjang. Apakah orang gila punya masa lalu?

Jangan ganggu, ia sedang melepaskanmu selembar

demi selembar. Sabdakan, wahai, Yang Mahabesar!

 (Puisi "Apakah Orang Gila Bisa Bermimpi?" dalam Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, 2017: 47)

/1/

Hampir semua dari kita mengetahui apa yang sering dilakukan orang gila: mengorek-orek sisa makanan di tempat sampah; berjalan ke sana ke mari tak tentu arah dengan pakaian amat kotor, berambut panjang menggimbal, bahkan telanjang bulat; kadang berteriak-teriak membuat siapa pun takut kepadanya. Itu di antara beberapa perilaku dari perilaku lain orang gila yang dapat kita temui.

Tapi, tidak dengan orang gila dalam puisi Sapardi Djoko Damono. Orang gila itu " ... tengah melepaskan dirinya selembar demi selembar sampai sepenuhnya telanjang". 

Bukan hanya itu, orang gila itu pun " ... sedang melepaskanmu selembar demi selembar". Tentu saja kita melihat itu sebagai perlaku lain dari orang gila pada umumnya. 

Apakah ini berarti orang gila yang kita temui di jalan-jalan tidak sama dengan orang gila dalam puisi Sapardi yang berjudul "Apakah Orang Gila Bisa Bermimpi"? Bisa jadi memang tidak sama. Hal ini karena orang gila dalam puisi Sapardi sedang melepaskan tubuhnya sendiri (bukan pakaiannya). Orang gila itu juga melepaskan diri "kamu".

Ada perbedaan perilaku di sana, yakni melepaskan diri orang gila hingga telanjang dan melepaskan diri "kamu". Pembaca tentu bertanya-tanya, apa maksud Sapardi membuat perbedaan perilaku orang gila. Ada makna yang ingin disasar Sapardi dalam puisi tersebut.

/2/

Puisi yang berjumlah lima baris itu, secara tekstual terbagi atas dua bagian. Bagian pertama, baris-baris yang oleh Sapardi sengaja dicetak miring yang menandakan sebagai teks pernyataan langsung. 

Baris-baris itu berbunyi, "Apakah orang gila bisa bermimpi?", "Apakah orang gila punya masa lalu?", dan "Sabdakan, wahai, Yang Mahabesar!" Bagian kedua, baris-baris -yang sudah dikutip di bagian awal catatan ini- berbunyi "Ia tengah melepaskan dirinya selembar demi selembar sampai sepenuhnya telanjang" dan "Jangan ganggu, ia sedang melepaskanmu selembar demi selembar". Kedua baris puisi ini merupakan pernyataan tidak langsung dan berfungsi sebagai narasi.

Khusus pada bagian pertama, terkandung dua baris puisi berbentuk kalimat interogatif berjenis retoris dan satu baris puisi berbentuk kalimat imperatif. Ada kesan kalimat imperatif pada baris yang berbunyi "Sabdakan, wahai, Yang Mahabesar!" bernada negatif, yakni penyair memberi perintah kepada Tuhan agar mengeluarkan firman-Nya. 

Padahal bila kita cermati, maksud kalimat imperatif tersebut mengandung ajakan dan harapan penyair agar pembaca berbuat sesuatu. Tepatnya, mengajak kita untuk memperhatikan dan mengikuti apa yang telah disabdakan Tuhan. Bila demikian halnya, apa hubungan antara orang gila dengan sabda Tuhan?

Dalam perspektif Islam, saya teringat perihal orang gila yang terkandung dalam Al Qur'an. Allah telah bersabda, "Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila" (Surat Al Qalam, ayat 5-6). Dalam Tafsir Al-Mukhtashar/Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) menyebutkan bahwa orang yang memiliki sifat-sIfat yang mulia bukanlah orang gila. 

Nabi dan orang-orang musyrik  akan mengetahui dengan pasti siapa yang lebih layak disebut orang gila. Sesungguhnya Allah mengetahui siapa yang mengikuti jalan-Nya dan siapa yang berpaling dari-Nya (tafisrweb.com).

Lebih jelas lagi bila kita membaca sebuah riwayat ketika Nabi Muhammad melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul. Rasul bertanya, "Karena apa kalian berkumpul di sini?" Para sahabat menjawab, "Ya Rasullullah, ini ada orang gila sedang mengamuk. Karena itulah kami berkumpul di sini". Rasulullah lalu bersabda, "Orang ini bukan gila. Ia sedang mendapat musibah. Tahukah kalian orang gila yang sebenar-benarnya gila?" Para sahabat menjawab tidak tahu. 

Rasulullah kemudian menjelaskan, "Orang gila ialah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman, dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja" (republika.co.id).

Referensi tentang sebutan orang gila dalam Al Qur'an dan Hadits tersebut mungkin dipandang sebagai rujukan sampingan di luar teks puisi "Apakah Orang Gila Bisa Bermimpi?" Sebab, bagaimana pun referensi-luar teks apa pun tetap akan kita tempatkan sebagai ekstrinsikalitas. Referensi ini berguna dalam rangka memperkuat makna teks puisi Sapardi yang secara intrinsikalitas harus mendapatkan fokus bahasan utama.

/3/

Diksi "bermimpi" dan "punya masa lalu" yang dilekatkan pada orang gila tentu akan menimbulkan ambiguitas di benak pembaca. Benarkah orang gila mempunyai mimpi dan masa lalunya? Pertanyaan ini memberi kesan, bahwa orang yang disebut gila masih memiliki akal sehat. 

Bila dasar kita adalah akal sehat, maka kegilaan dalam puisi Sapardi itu bisa saja kita pahami sebagai "orang gila yang bukan sebenar-benarnya gila". Bukan pemahaman orang gila dalam pengertian "musibah" sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Muhammad. 

Baris yang berbunyi "Ia tengah melepaskan dirinya selembar demi selembar" merupakan peristiwa yang digunakan Sapardi untuk menggambarkan adanya "musibah". Yakni, sebuah keadaan yang secara psikis sedang mengalami gangguan kejiwaan. Ia mengalami keterlepasan akal sehat dari tubuhnya. 

Dapat pula dipahami, bahwa orang gila dalam puisi itu memang "orang gila yang sebenar-benarnya gila", yang mengalami gangguan kejiwaan sehingga sampai pada keadaan benar-benar telanjang dalam pengertian harfiah.

Dualisme makna atau ambiguitas tersebut, menurut pemahaman saya, tidak memiliki pengaruh atas keseluruhan makna yang muncul dalam puisi "Apakah Orang Gila Bisa Bermimpi?" Saya katakan demikian karena pada baris yang lain, Sapardi memunculkan baris yang berbunyi, "Jangan ganggu, ia sedang melepaskanmu selembar demi selembar." Baris ini memberi arti, bahwa orang gila (entah gila secara psikologi maupun gila dalam dimensi keagamaan) sedang memulihkan pikiran kita. 

Diksi "Jangan ganggu" dan "sedang melepaskanmu " dapat berarti kita diperintah Sapardi untuk memperhatikan, bahwa sesungguhnya orang gila itu sedang  mengingatkan dan menyadarkan kita dari sikap sombong dan merendahkan orang lain, sikap selalu berbuat maksiat, serta sikap meresahkan atau menyusahkan hidup orang lain. 

Dengan pengertian semacam ini, baris terakhir yang berbunyi "Sabdakan, wahai, Yang Mahabesar!" menjadi sumber mutlak bagi kepatuhan kita untuk tidak menjadi orang gila yang sebenar-benarnya gila secara moral-sosial-keagamaan.

/4/

Melalui pembacaan seperti itu, kita memang harus belajar dari orang gila untuk tidak memasuki "dunia gila" yang banyak dihidupi manusia masa kini. Kegilaan memang telah banyak kita jumpai di seluruh aspek kehidupan manusia masa kini di negeri ini. 

Kegilaan telah mendominasi kehidupan politik kita, menguasai kehidupan perekonomian kita,  mencemari sikap toleransi keberagamaan kita, merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, serta mengoyak moralitas hidup kita.

Sikap untuk tidak menjadi "gila" harus menjadi kurikulum utama pendidikan kita, karena dari sana lah manusia Indonesia akan sembuh dari "kegilaannya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun