Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Orang Gila

11 Januari 2022   11:59 Diperbarui: 11 Januari 2022   12:05 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

/3/

Diksi "bermimpi" dan "punya masa lalu" yang dilekatkan pada orang gila tentu akan menimbulkan ambiguitas di benak pembaca. Benarkah orang gila mempunyai mimpi dan masa lalunya? Pertanyaan ini memberi kesan, bahwa orang yang disebut gila masih memiliki akal sehat. 

Bila dasar kita adalah akal sehat, maka kegilaan dalam puisi Sapardi itu bisa saja kita pahami sebagai "orang gila yang bukan sebenar-benarnya gila". Bukan pemahaman orang gila dalam pengertian "musibah" sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Muhammad. 

Baris yang berbunyi "Ia tengah melepaskan dirinya selembar demi selembar" merupakan peristiwa yang digunakan Sapardi untuk menggambarkan adanya "musibah". Yakni, sebuah keadaan yang secara psikis sedang mengalami gangguan kejiwaan. Ia mengalami keterlepasan akal sehat dari tubuhnya. 

Dapat pula dipahami, bahwa orang gila dalam puisi itu memang "orang gila yang sebenar-benarnya gila", yang mengalami gangguan kejiwaan sehingga sampai pada keadaan benar-benar telanjang dalam pengertian harfiah.

Dualisme makna atau ambiguitas tersebut, menurut pemahaman saya, tidak memiliki pengaruh atas keseluruhan makna yang muncul dalam puisi "Apakah Orang Gila Bisa Bermimpi?" Saya katakan demikian karena pada baris yang lain, Sapardi memunculkan baris yang berbunyi, "Jangan ganggu, ia sedang melepaskanmu selembar demi selembar." Baris ini memberi arti, bahwa orang gila (entah gila secara psikologi maupun gila dalam dimensi keagamaan) sedang memulihkan pikiran kita. 

Diksi "Jangan ganggu" dan "sedang melepaskanmu " dapat berarti kita diperintah Sapardi untuk memperhatikan, bahwa sesungguhnya orang gila itu sedang  mengingatkan dan menyadarkan kita dari sikap sombong dan merendahkan orang lain, sikap selalu berbuat maksiat, serta sikap meresahkan atau menyusahkan hidup orang lain. 

Dengan pengertian semacam ini, baris terakhir yang berbunyi "Sabdakan, wahai, Yang Mahabesar!" menjadi sumber mutlak bagi kepatuhan kita untuk tidak menjadi orang gila yang sebenar-benarnya gila secara moral-sosial-keagamaan.

/4/

Melalui pembacaan seperti itu, kita memang harus belajar dari orang gila untuk tidak memasuki "dunia gila" yang banyak dihidupi manusia masa kini. Kegilaan memang telah banyak kita jumpai di seluruh aspek kehidupan manusia masa kini di negeri ini. 

Kegilaan telah mendominasi kehidupan politik kita, menguasai kehidupan perekonomian kita,  mencemari sikap toleransi keberagamaan kita, merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, serta mengoyak moralitas hidup kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun