Saya telah menghabiskan lebih dari tiga dekade hidup saya dalam dunia perkebunan. Sejak pertama kali menapaki jalanan tanah di tengah hamparan kelapa sawit di Sumatera Utara sebagai asisten lapangan muda, hingga dipercaya memimpin sejumlah kebun sebagai manajer wilayah, dunia ini telah menjelma dan mendarah daging di kehidupan saya.
Dari waktu ke waktu, dunia perkebunan Indonesia berubah. Ada banyak perkembangan positif yang patut diapresiasi, tapi di sisi lain, tantangan yang kami hadapi juga berkembang---baik dari dalam maupun dari luar. Saya percaya bahwa pengalaman adalah guru terbaik, dan melalui tulisan ini, saya ingin membagikan perjalanan panjang saya mengarungi dinamika dunia perkebunan di negeri ini. Saya akan mengulas beberapa tantangan utama yang saya hadapi sepanjang karier saya, yang mungkin jarang disuarakan dari sudut pandang pelaku lapangan.
Tantangan Perkebunan dari Waktu ke Waktu - Diari Seorang Praktisi Lapangan
1. Ketika Masyarakat Menjadi Hambatan, Bukan Mitra
Pengalaman saya di lapangan membuktikan bahwa tidak semua masyarakat di sekitar kebun dapat diajak bekerja sama dengan mudah. Mungkin sebagian besar orang di wilayah tersebut dapat menerima hadirnya perkebunan di wilayah mereka, namun beberapa kelompok lain ada juga yang justru menjadi rival yang menolak adanya perkebunan itu. Ada yang menyebarkan informasi keliru, menolak keberadaan perusahaan tanpa dasar yang jelas, bahkan memprovokasi konflik horizontal demi kepentingan pribadi.
Saya tidak menutup mata bahwa sejarah tanah di Indonesia itu rumit. Tapi sebagai pelaku yang bekerja sesuai aturan, kami kadang berada dalam posisi yang sulit ketika fakta hukum diabaikan dan digantikan oleh narasi sepihak. Ketika izin telah dimiliki, lahan dibuka sesuai prosedur, dan CSR rutin dijalankan, tetap saja tuduhan dan protes datang.
Dalam situasi seperti itu, kuncinya adalah pendekatan yang manusiawi dan komunikasi dua arah. Kita tidak bisa memaksakan program, tapi kita juga tidak bisa mundur setiap kali tekanan sosial datang. Butuh keberanian untuk terus menjalin dialog, mendengarkan keluhan, dan memberi edukasi tentang bagaimana perkebunan bisa menjadi sumber kesejahteraan bersama.
2. LSM - Antara Idealisme dan Agenda Terselubung
Tidak semua organisasi non-pemerintah memiliki niat buruk. Ada banyak LSM yang bekerja dengan tulus untuk memperjuangkan keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Namun saya tidak bisa menutup kenyataan bahwa ada pula LSM yang datang dengan agenda tersembunyi. Mereka memanfaatkan isu agraria atau lingkungan untuk mendulang dana dari pihak luar, dan sayangnya, menjadikan perkebunan sebagai kambing hitam.
Saya pernah mengalami langsung ketika sebuah LSM mengklaim bahwa kebun yang kami kelola telah merusak kawasan hutan, padahal area tersebut merupakan eks-HTI (Hutan Tanaman Industri) yang sudah tidak aktif bertahun-tahun. Laporan tersebut dikirim ke mitra dagang di Eropa dan langsung berdampak pada hubungan bisnis kami.
Yang menyedihkan, LSM semacam ini sering kali tidak berdialog dengan kami terlebih dahulu. Mereka menyusun laporan berdasarkan opini sepihak, tanpa verifikasi langsung ke lapangan. Sebagai pelaku lapangan, kami tentu merasa disudutkan.
Saya sangat mendukung pengawasan dan kritik konstruktif. Namun jika itu dilakukan dengan niat manipulatif, bukan solusi yang lahir, tapi konflik berkepanjangan yang tidak menguntungkan siapa pun.
3. Media - Membentuk Persepsi, Tapi Sering Tak Mendalam
Dalam dunia modern, persepsi publik sangat dipengaruhi oleh media. Namun sayangnya, banyak pemberitaan tentang industri perkebunan yang hanya mengangkat sisi negatifnya. Konflik lahan, kebakaran hutan, perusakan lingkungan---semua itu diekspos habis-habisan, sementara kerja keras kami untuk membina masyarakat, menerapkan prinsip keberlanjutan, dan memperbaiki sistem, nyaris tak tersentuh.
Saya tidak anti-media. Justru saya sangat berharap, dengan adanya media yang adil dan faktual, bisa menjadi penghubung antara masyarakat dan perkebunan. Tapi saya berharap, sebelum menulis dan menyebarkan berita, wartawan semestinya turun ke lapangan. Lihat sendiri bagaimana kami bekerja, tantangan apa yang kami hadapi, dan bagaimana kami mencoba menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kalau hanya melihat dari jauh, tentu yang terlihat hanya kerusakan. Tapi bila mendekat dan menyelami, Anda akan melihat perjuangan yang tidak sederhana.
4. Regulasi Global yang Berat Sebelah
Beberapa tahun terakhir, dunia internasional memberlakukan berbagai regulasi dan sertifikasi yang harus dipenuhi oleh produk perkebunan Indonesia. RSPO, ISPO, dan lain sebagainya, semua itu menuntut biaya, waktu, dan sumber daya yang besar.
Saya mendukung prinsip keberlanjutan. Tapi saya juga melihat bahwa regulasi global sering kali tidak mempertimbangkan kondisi riil petani kecil. Bagaimana petani swadaya yang memiliki dua hektar kebun sawit bisa memenuhi semua standar itu? Mereka bahkan tidak tahu apa itu deforestasi menurut definisi Eropa, apalagi punya sistem pelacakan rantai pasok.
Jika regulasi hanya berpihak pada negara maju dan mengorbankan petani kecil, maka keadilan global hanya akan menjadi slogan. Indonesia butuh berdiri tegak membela komoditasnya sendiri, tanpa melupakan pentingnya perbaikan internal.
5. Tantangan Internal - Regenerasi dan SDM
Di antara semua tantangan eksternal, ada satu tantangan besar yang datang dari dalam industri sendiri: krisis regenerasi. Anak-anak muda semakin enggan bekerja di perkebunan. Mereka lebih tertarik pada dunia digital, kota besar, dan karier yang tampak lebih prestisius.
Padahal, sektor perkebunan adalah salah satu sektor paling strategis dan menjanjikan. Saya sendiri merasakan bagaimana karier saya tumbuh dari bawah hingga ke level manajerial. Tapi untuk menggapainya diperlukan prinsip, ketabahan, dan keinginan untuk terus belajar.
Saat ini, saya banyak melihat kekosongan di level manajemen menengah. Para senior sudah mendekati masa pensiun, sementara generasi muda belum cukup banyak yang siap mengambil tongkat estafet. Kalau situasi ini dibiarkan, produktivitas dan kesinambungan industri bisa terancam.
6. Iklim Ekstrem dan Dampaknya pada Produksi
Perubahan iklim bukan teori. Saya menyaksikan sendiri bagaimana musim tanam menjadi tidak menentu, serangan hama meningkat, dan jadwal panen terganggu akibat cuaca ekstrem.
Tanaman sawit yang sebelumnya bisa dipanen konsisten, kini hasilnya berfluktuasi tajam. Begitu pula karet, kopi, dan kakao---semua merespons kondisi alam yang berubah.
Untuk itu, pendekatan agronomi konvensional harus mulai dilengkapi dengan teknologi. Pemanfaatan citra satelit, sensor kelembapan, serta sistem prediksi cuaca perlu diterapkan lebih luas, bukan hanya di perusahaan besar tapi juga untuk petani rakyat.
Penutup - Jalan yang Masih Panjang
Sebagai seseorang yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidup saya di dunia perkebunan, saya menyadari bahwa tantangan akan selalu ada. Tetapi saya juga yakini bahwa masalah dan tantangan adalah momen untuk tumbuh, berbenah, dan memperkuat prinsip.
Perkebunan bukan sekadar bisnis. Ia adalah denyut nadi bagi jutaan keluarga di Indonesia, penggerak ekonomi desa, dan sumber devisa nasional. Kita tidak bisa membiarkan narasi negatif meruntuhkan semangat para pekerja dan petani yang setiap hari bergelut di bawah terik matahari.
Saya berharap, melalui tulisan ini, publik bisa melihat sisi lain dari industri perkebunan---bukan dari kacamata korporasi, tapi dari pengalaman langsung seorang pelaku lapangan. Sebab yang kami perjuangkan bukan cuma hasil panen, tapi juga harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI