Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tulisan Adalah Penjara Kata

19 Agustus 2016   15:17 Diperbarui: 25 Agustus 2016   22:08 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Renungan kemerdekaan yang dihaturkan rekan S Aji, “Narsisus dan Suara dalam Kepala” (K.18.08.16), membuat saya tercenung.

Ada kalimat-kalimat Aji yang memaksa otak tua saya berpikir keras. Katanya, “Saya ingin memerdekakan suara-suara itu, melepasnya menjadi kata-kata bercerita.”

Dilanjutkan, “… Untuk menjadi merdeka, suara-suara dalam kepala itu membutuhkan cara bercerita yang layak. Mereka perlu diformat, dibentuk, agar terlahir sebagai suara yang layak. Layak bercerita sebagai gagasan, menjadi catatan, layak sebagai bacaan. Di sinilah, memerdekan suara-suara dalam kepala menjadi kata-kata bermakna adalah pergulatan yang tiada sederhana.”

Rentetan kalimat itu memaksa saya untuk bertanya pada diri sendiri, bukan pada Aji, adakah menulis itu memerdekakan suara-suara dalam kepala, dan tulisan itu tanah merdeka bagi suara-suara yang telah menjadi kata-kata?

Sesungguhnya saya bukan menggugat pikiran Aji, melainkan memikir-ulang pemahaman sendiri, bahwa tulisan adalah penjara kata. Dengan begitu, saya hendak membiarkan beda paham bersemi di taman pikiran.

Dalam pemahaman saya, suara-suara justru menikmati kemerdekaannya yang hakiki di dalam kepala kita. Tidak ada tuan atasnya, bahkan tidak pemilik kepala. Suara-suara itu datang, berbisik dan berseru, dan pergi begitu saja, sesuka hatinya. Pemilik kepala bisa mengontrol pikirannya, tapi tidak suara-suara.

Mengalih-ragamkan suara-suara menjadi susunan huruf bermakna berarti menangkapnya dalam perangkap kata. Dan menyusun kata-kata dalam perangkap struktur kalimat dan gaya bahasa berarti memenjarakannya dalam tulisan. Maka tulisan adalah penjara suara yang telah menjadi kata. Dengan kata lain, penjara kata-kata.

Maka penulis adalah penjajah, bukan pembebas yang memerdekakan suara menjadi kata. Penulis memerangkap suara menjadi kata, lalu mengawinkan paksa kata-kata membentuk tulisan, sebuah bangunan penjara bagi kata-kata itu. Sekali kata dimasukkan ke situ, selamanya dia di situ.

Tulisan sebagai penjara kata dibangun penulis secara otoriter. Dia memaksa suara menjadi kata, kata-kata menjadi kalimat, kalimat-kalimat menjadi paragraf, paragraf-paragraf menjadi tulisan, keseluruhannya membentuk bangunan makna. Makna seturut maunya penulis.

Tak ada kata yang tak tunduk pada otoritas penulis, atau kata itu akan dibuang. Dan otoritas penulis bersifat unik, sehingga kata-kata yang sama akan menghasilkan kalimat dan makna yang beda antara satu dan lain penulis.

Prosa, puisi, essai, satire, dan lain-lain, hanyalah ragam arsitektur penjara kata. Ada kata yang beruntung masuk penjara puisi, ada yang sial masuk penjara satire sarkastik. Kata tak dapat memilih penjaranya. Itu sepenuhnya otoritas penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun