Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Akademisi Dilarang Jadi Menteri Kabinet Jokowi-JK

14 Agustus 2014   18:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:34 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Visi "Indonesia Hebat" Jokowi-JK tidak memberi ruang pada golongan akademisi untuk menjabat menteri.  Visi tersebut mempersyaratkan kehadiran pemimpin-pemimpin perubahan revolusioner, untuk mentransformasi Indonesia dari "Baik" (Good) menjadi "Hebat" (Great).  Itulah tipe pemimpin yang menganut paradigma "bekerja adalah teori yang hidup".

Akademisi lazimnya menganut paradigma "berteori adalah pekerjaan untuk hidup".    Jelasnya, sesorang akademisi pada hakekatnya adalah seorang pemikir, bukan seorang pekerja dalam pengertian praktisi profesional.     Akademisi terbiasa memimpin perubahan evolusioner, yaitu melalui kegiatan proses belajar-mengajar untuk transfer ilmu-pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik.   Sebaliknya, seorang praktisi profesional adalah orang yang terbiasa memimpin perubahan revolusioner, karena kalau tidak begitu, maka iac akan tertinggal dari pesaingnya.   Semangatnya adalah untuk selalu menjadi yang terhebat.

Jadi, sebaiknya Jokowi tidak memilih menteri dari kalangan akademisi.  Sudah terbukti begitu banyak akademisi dengan gelar Profesor Doktor yang menjadi menteri  di Indonesia, tapi tidak satupun dari mereka yang berhasil memimpin kementeriannya untuk mencapai kinerja "Hebat".

Ambil contoh Kementerian Pertanian: dipimpin silih-berganti oleh Profesor Doktor, tapi sampai kini (2014) tidak pernah berhasil mewujudkan kedaulatan pangan nasional.    Tapi coba, misalnya, menempatkan seorang purnawirawan Jenderal Militer sebagai Menteri Pertanian, besar kemungkinan kedaulatan pangan akan tercapai, karena karakter militer yang berdisiplin tinggi untuk mencapai target.

Contoh sebaliknya adalah Prof.Dr.Ing. Habibie.  Pak Habibei itu bukan akademisi, tapi sejak dari Jerman sudah menjadi praktisi profesional di perusahaan industri pesawat terbang.   Dengan kata lain Prof. Habibie adalah praktisi tulen yang berilmu tinggi.   Hasilnya adalah revolusi:  Indonesia mampu menghasilkan  pesawat udara.    Di Indonesia banyak orang yang setipe dengan Prof. Habibie ini dan sangat layak diangkat menjadi menteri.  Sebut misalnya Ignatios Jonan (Dirut KAI) dan  R.J. Lino (Dirut Pelindo).

Para akademisi dengan gelar tertinggi tidak akan mampu bekerja seperti Pak  Jonan dan Pak Lino.   Padahal untuk menjadikan Indonesia Hebat, justru pekerja keras seperti kedua dirut itu yang diperlukan sebagai pimpinan kementerian.   Bukan para akademisi yang terlalu banyak berpikir, sampai kehabisan waktu untuk bekerja.


Itu alasannya mengapa akademisi dilarang menjadi menteri dalam Kabinet Jokowi-JK.  Karena kabinet Jokowi-JK nanti adalah Kabinet Kerja, Kerja, dan Kerja.  Bukan Kabinet Mikir, Mikir, dan Mikir.

Baik untuk mengingat  anekdot dari ilmuwan P.B. Medawar  yang menceritakan seorang Profesor tewas tersengat arus listrik ketika sedang membetulkan bohlam di rumahnya.  Nasihat Medawar, serahkanlah urusan bohlam kepada tukang listrik, dan urusan Professor adalah teori listrik.

Maksud saya jelas.   Kalau mau menarik para akademisi untuk mendukung kabinet, tempatkanlah mereka pada posisi yang tepat, yaitu misalnya sebagai staf ahli atau penasihat. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun