Dua tahun terakhir ini aku, bersama istri, kerap bolak-balik naik kereta komuter antara Kebayoran dan Rangkasbitung. Satu sampai dua kali sebulanlah. Untuk urusan ziarah pengharapan ke Gua Maria Bukit Kanada.
Tapi kamu keliru kalau berpikir aku mau cerita soal ziarah. Tidak, ini soal lain.
Begini. Aku penikmat bangunan tua warisan kolonial Belanda. Takjub akan fakta, bahwa menjajah aja bisa biking bangunan indah, kuat, dan awet. Gimana kali gak menjajah.
Stasiun-stasiun perhentian sepanjang jalur Kebayoran-Rangkasbitung itu aslinya dibangun Belanda. Tepatnya dibangun oleh perusahaan Staatsspoorwegen (SS), pada penghujung abad ke-19. Lalu sejak paruh kedua 2010-an, seiring elektrifikasi jalur Tanahabang-Rangkasbitung, stasiun-stasiun itu dibangun ulang Kementerian PUPR.
Bangunan-bangunan stasiun tua bikinan SS itulah yang hendak kuceritakan di sini. Tidak semua. Karena aku kan gak turun di tiap stasiun; bukan petugas inspeksi. Jadi tak sempat mengamati kondisi semua bangunan stasiun tua sepanjang rel.Â
Namun dari yang sempat kuamati, kutemukan empat kategori bangunan stasiun tua: terawat, terhempas, terlantar, dan terancam. Aku ceritakan, ya.Â
Kebayoran: Yang Terawat
Di antara Kebayoran dan Rangkasbitung, stasiun tua Kebayoran adalah salah satu yang dipertahankan, dirawat, dan dilestarikan. Berdiri di bawah kanopi barat bangunan dua lantai stasiun baru, bangunan stasiun lama bikinan SS tahun 1899 itu masih berdiri kokoh, anggun, dan berperbawa. Ruang-ruang bangunan itu masih tetap digunakan untuk pengoperasian stasiun.
Bangunan stasiun lama Kebayoran ini adalah contoh bagus untuk stasiun KAI yang tak kehilangan artefak atau jejak sejarahnya. Ujung ekstrimnya adalah Stasiun Gambir yang tak menyisakan jejak sejarah. Bangunan stasiun lama dirubuhkan rata tanah. Kini di sana berdiri stasiun modern megah tapi ahistoris.