Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suatu Sore Menghangati Pertemanan di Kopitiam Kok Tong Siantar

5 Oktober 2025   17:05 Diperbarui: 6 Oktober 2025   21:49 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengunjung kopitiam Kok Tong Siantar (Dokumentasi Pribadi)

Ada tiga perkara yang bikin pertemanan menjadi suam-suam kuku. Jarak geografis yang memisahkan terlalu  jauh; waktu keterpisahan yang sangat lama; kesibukan yang menyita seluruh perhatian.

Demikianlah tiga perkara itu -- jarak, waktu, dan sibuk --  sedikit banyak telah mengurangi kehangatan pertemananku dengan Pastor Hen Sihotang, OFM Cap  dan Lae Jay Wijayanto. 

Sedikit bocoran  tentang kedua temanku yang baik budi ini. 

Pastor Hen adalah teman lama, kawan sekelas di SMP Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematangsiantar pada paruh pertama 1970-an. Misteri ilahi, dia terpilih menjadi imam, sedangkan aku menjadi awam. Kini dia menjadi pastor formator di almamater kami itu. 

Sebaliknya, Lae Jay adalah teman baru. Kami bersua di WAG eks-seminari tiga tahun lalu. Dia anggota bilangan yang terbuang dari Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang. Karena sama prihatin atas gejala anarkisme dalam pembawaan musik liturgi gereja Katolik, maka kami bersepakat membantu pembenahan mulai dari seminari -- sekolah calon imam Katolik. Kebetulan kami berdua cocok: dia pelaku musik, aku penyuka musik. Pas banget, kan?

Singkat cerita, melawan angin monsun pada awal Desember 2024 lalu, sebuah pesawat terbang mengusung raga Lae Jay dan aku dari Cengkareng ke Kualanamu; selanjutnya perjalanan darat ke Pematangsiantar (Siantar). Destinasi akhir adalah SMCS Siantar di Jalan Farel Pasaribu, dahulu Jalan Lapangan Bola Atas.

Selingannya di perjalanan, brunch dengan lauk burung ruak-ruak goreng di Sinaksak, Siantar. "Kita butuh kenikmatan oral," kata Lae Jay. Dia benar belaka. Untuk apa kita dikaruniai mulut, gigi, dan  lidah kalau bukan untuk, antara lain, mengecap dan mengunyah makanan nikmat? Lidah itu gunanya bukan untuk menjilat pemenang Pilpres, bukan? 

Tiba tengah hari di pastoran SMCS, Lae Jay dan aku disambut para pastor yang ramah, juga oleh hidangan makan siang yang enak di refter. Adat orang Batak, wajib makan bersama dengan tuan rumah. Jangan harap kami menolak walau sudah makan burung goreng. 

Pastor Hen, tentu saja, ada di situ dengan senyum khasnya yang mewartakan keramahan Batak Humbang Hasundutan . Sebuah saling-peluk erat hangat antara dia dan aku teranyam. Itu tak berlebihanlah setelah kami  terpisah oleh jarak dan waktu selama hampir setengah abad.

Lae Jay dan aku hadir di SMCS untuk tugas pelatihan musik liturgi Gereja Katolik bagi para seminaris. Tiga hari lamanya, Jumat sampai Minggu, 6-8 Desember 2024. Total 15 jam durasinya. 

Pada hari kedua, Sabtu,  setelah melatih seminaris dari pagi sampai menjelang sore, Lae Jay dan aku mengalami kelelahan fisik dan psikis. Melatih anak-anak Gen Z ternyata sangat menguras energi. Lae Jay dan aku sangat terkuras oleh kesibukan melatih itu. Kami menjadi mitra kerja serius, hingga lupa kami sebenarnya adalah teman yang gemar haha-hehe. 

"Ayo, kita minum kopi," ajakku Sabtu sore itu kepada Lae Jay dan Pastor Hen. Sibuk melatih seminaris membuat kehangatan pertemananku dengan Lae Jay agak berkurang. Sementara pertemananku dengan Pastor Hen, perlu pula dihangatkan setelah sebegitu lama terbengkalai.

Duo runner yang ceria, siap mengantarkan kopi pesananmu di  kopitiam Kok Tong Siantar (Dokumentasi Pribadi)
Duo runner yang ceria, siap mengantarkan kopi pesananmu di  kopitiam Kok Tong Siantar (Dokumentasi Pribadi)

Pertemanan adalah Alasan Minum Kopi

"Kita ke kedai kopi Kok Tong saja," jawabku menjawab Lae Jay yang menanyakan tempat tujuan minum kopi.

Sedikit cerita nostalgik. Paruh pertama 1970-an, saat jam ambulatio (jalan-jalan) hari Minggu bagi seminaris, aku bersama teman-teman beberapa kali lewat di samping kedai kopi Kok Tong itu. Tempatnya di Jalan Dokter Wahidin, pojok perempatan dengan Jalan Dokter Cipto. 

Kedai kopi itu selalu ramai. Ingin rasanya ikut duduk ngopi di situ. Tapi kedai kopi di Siantar, juga di Tanah Batak, adalah dunia lelaki dewasa. Karena itu anak kecil harus sabar menghitung umur.

"Ini saatnya melunasi keinginan masa kecil," kataku dalam hati. 

"Saya belum pernah ngopi di situ." Pastor Hen mengaku. Cocok, dia dan aku senasib. Sungguh teman sejati.

Tapi Pastor Hen memang imam yang baik. Dia lebih suka mengunjungi umat di rumahnya ketimbang nongkrong di kedai kopi. Di rumah umat, mungkin juga  ada kopi gratis, kan?

Kami pinjam mobil pastoran seminari. Mobil matik. Pastor Hen gak bisa nyetir. Aku sudah lama gak nyetir mobil matik. Ya, sudah. Lae Jay yang jadi supir Siantar. Aku navigator. Yah, kapan lagi bisa mengarahkan Lae Jay, konduktor konser, art director pertunjukan, dan aktor film itu.

Kedai kopi Kok Tong sore itu ramai pengunjung. Kami beruntung masih kebagian satu meja yang baru kosong. Bertiga sekawan duduk semeja.

"Saya pesan kopi susu." Lae Jay menyebut pesanannya. Aku pesan yang sama. Pastor Hen juga nunut.  Mungkin karena dia seorang Kapusin, jadi warna kopinya harus senada warna jubahnya, capuccino.

Ada alasan mengapa aku ikut memesan kopi susu. "Bubuk kopi Kok Tong itu paling pas untuk kopi susu," kata Lae Jay tiga bulan sebelumnya, saat aku bercerita tentang bubuk kopi Kok Tong -- dapat oleh-oleh dari pelatihan literasi di SMCS. Aku percaya kata-katanya sebab, selain jago musik, Lae Jay itu juga khatam soal perkopian. 

Kopi susu pesanan kami (Dokumentasi Pribadi)
Kopi susu pesanan kami (Dokumentasi Pribadi)

Kedai kopi Kok Tong menyajikan hanya dua jenis seduhan: kopi hitam dan kopi susu -- variasi panas atau dingin.  Betul-betul kopitiam asli. Karena kopi harus punya teman, maka kedai itu menyediakan roti srikaya bakar. Hanya itu. Tapi kalau tak suka roti, di samping kedai itu ada penjaja bakpao. Itu yang kami pilih, nikmat tapi murah.

Pada sruputan pertama, lidahku merasakan rasa nikmat yang pulen. Tak terlalu medok, juga tak terlalu manis; rasa pahit yang bikin nagih seperti menggoda lidah. Bedalah pokoknya dengan kopi susu di cafe-cafe Jakarta. Padahal untuk tiga gelas kopi susu Kok Tong kami membayar hanya Rp 45.000. Uang segitu di Jakarta cuma bisa beli secangkir kopi, kan? 

Rasa melangit harga membumi. Mungkin itulah prinsip bisnis Lim Tie Kie, perantau muda asal Fu Jian, saat pertama membuka kopitiamnya itu di Siantar pada tahun 1925. Waktu itu kopitiamnya dinamai Heng Sen Chan. Nama Kok Tong atau Massa Kok Tong disematksn generasi pewarisnya.

Tie Kie melakukan sendiri keseluruhan proses produksi kopinya di hulu. Mulai dari pemilihan dan pemilahan (selecting and grading) biji kopi terbaik, pemanggangan (roasting), penggilingan (grinding), peracikan (compounding Arabika dan Robusta), sampai penyeduhan (brewing) kopi. 

Aku melongok ke dapur kopitiam itu. Betul, semua peralatan tetap serba manual. Tak ada mesin giling dan seduh kopi di dapur itu. Stok bubuk kopi adalah bubuk segar hasil penggilingan sendiri. Lalu kopi tetap diseduh secara tradisional, menggunakan saringan kain. 

Itulah "rahasia dapur" kopitiam Kok Tong untuk memastikan sajian kopi segar bermutu tinggi dengan rasa nikmat berkelas untuk para pelanggannya. "Rahasia dapur" yang diwariskan, dilestarikan dan disempurnakan sejak dari generasi pertama (Lim Tie Kie) ke generasi kedua (Lim Kok Tong), ketiga (Lim Ming), sampai kini generasi keempat (Vincent Forest).

Setiap tegukan dari secangkir kopi harus menyajikan kenikmatan yang menambah kehangatan pertemanan. Sebab jika tidak begitu, orang tidak akan datang ke kopitiam. Orang minum kopi di kedai kopi untuk alasan pertemanan, hanya pertemanan.

Di kopitiam Kok Tong tak ada orang datang minum secangkir kopi untuk tujuan menyendiri. Seseorang datang untuk bertemu dengan teman-teman di situ. Atau satu kelompok pertemanan datang minum kopi ke situ untuk menghangatkan pertemanan mereka. Istilah kerennya "bersosialisasi".

Demikianlah Pastor Hen, Lae Jay, dan aku pada Sabtu sore itu saling menghangatkan pertemanan, masing-masing dengan secangkir kopi susu panas dan sebuah bakpao hangat. Tak ada hal serius yang kami bincangkan. Hanya pengalaman remeh-temeh, soal-soal ringan, dan kekonyolan di masa lalu yang tak mungkin terulang lagi. 

Pendek kata, lewat medium secangkir kopi susu Kok Tong, kami hanya menertawakan diri kami yang lampau. Di antara tegukan-tegukan terdapat gelak tawa. Begitulah cara kerja kopi menghangati pertemanan.

Para pengunjung kopitiam Kok Tong Siantar (Dokumentasi Pribadi)
Para pengunjung kopitiam Kok Tong Siantar (Dokumentasi Pribadi)

Ikon Sosial Siantar

Tak berlebihan menambalkan kopitiam Kok Tong itu sebagai ikon sosial Siantar. Pada mulanya, karena berada di Pecinan, pengunjung kopitiam itu adalah orang-orang Cina setempat. Mereka ngopi di situ untuk bersosialisasi; bicara bisnis, kerja, dan sebagainya.

Kemudian hari, berbagai etnik dari melting pot Siantar datang juga minum kopi ke situ. Terutama orang Batak Toba, Simalungun, dan Karo. Tapi juga orang Jawa dan Keling. Tapi Cina dan Batak memang menjadi pengunjung utama. Sehingga kultur kopitiam Kok Tong itu adalah bauran Cina-Batak.

Sore itu selang satu meja di samping kami ada sekelompok ibu-ibu Batak berkebaya gayeng bergosip sambil minum kopi. Ini gejala sosial baru. Lazimnya, secara tradisi, hanya lelaki Batak yang kumpul di kedai kopi. Tapi kopitiam Kok Tong mencairkan tradisi itu: perempuan Batak juga pantas ngobrol di kedai kopi. Itu keren banget.

Ada kalanya pengamen Batak datang ke situ. Mereka menyanyikan lagu-lagu Batak di luar kedai yang terbuka. Tak jarang para pengunjung ikut larut bernyanyi. 

Sore itu, kami bertiga tidak merasa sebagai orang asing di kopitiam Kok Tong itu. Kami merasa bagian integral dari keseluruhan pengunjung kedai kopi itu. Meminjam istilah Ben Anderson, kopitiam Kong Tok itu telah menjadi semacam "komunitas terbayang" (imagined community), dan kami bertiga serta para pengunjung lain adalah "warga komunitas" itu. 

Kami semua minum kopi di situ untuk menghangati pertemanan di antara kami. Tak ada kata-kata kasar dan kotor di kopitiam itu, karena kopi tak memabukkan seperti tuak.

Siantar selayaknya  berterimakasih kepada ikon sosial kopitiam Kok Tong. Dia telah menjadi oase sosial Siantar, tempat warga dari berbagai etnis, agama, ras, dan golongan bertemu, tertawa gembira dengan secangkir kopi di tangan.

Sore itu kami bertiga pulang kembali ke pastoran SMCS dengan pertemanan yang lebih hangat, karena  telah dihangati dengan secangkir kopi susu di kopitiam Kok Tong. 

Kamu juga, bila ingin menghangati pertemanan, datanglah ke kedai kopi. Tak mesti ke kopitiam Kok Tong. Mana suka saja. Asalkan kedai kopi sejati: hanya menyajikan kopi hitam dan kopi susu, dan sekadar camilan.

Oh, ya, hampir lupa. Jangan pernah minum kopi sendirian di  kedai kopi. Sebab itu berarti kamu tak punya teman. Dan jika tak punya teman, lalu apa gunanya minum kopi? [eFTe]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun