Demikianlah Pastor Hen, Lae Jay, dan aku pada Sabtu sore itu saling menghangatkan pertemanan, masing-masing dengan secangkir kopi susu panas dan sebuah bakpao hangat. Tak ada hal serius yang kami bincangkan. Hanya pengalaman remeh-temeh, soal-soal ringan, dan kekonyolan di masa lalu yang tak mungkin terulang lagi.Â
Pendek kata, lewat medium secangkir kopi susu Kok Tong, kami hanya menertawakan diri kami yang lampau. Di antara tegukan-tegukan terdapat gelak tawa. Begitulah cara kerja kopi menghangati pertemanan.
Ikon Sosial Siantar
Tak berlebihan menambalkan kopitiam Kok Tong itu sebagai ikon sosial Siantar. Pada mulanya, karena berada di Pecinan, pengunjung kopitiam itu adalah orang-orang Cina setempat. Mereka ngopi di situ untuk bersosialisasi; bicara bisnis, kerja, dan sebagainya.
Kemudian hari, berbagai etnik dari melting pot Siantar datang juga minum kopi ke situ. Terutama orang Batak Toba, Simalungun, dan Karo. Tapi juga orang Jawa dan Keling. Tapi Cina dan Batak memang menjadi pengunjung utama. Sehingga kultur kopitiam Kok Tong itu adalah bauran Cina-Batak.
Sore itu selang satu meja di samping kami ada sekelompok ibu-ibu Batak berkebaya gayeng bergosip sambil minum kopi. Ini gejala sosial baru. Lazimnya, secara tradisi, hanya lelaki Batak yang kumpul di kedai kopi. Tapi kopitiam Kok Tong mencairkan tradisi itu: perempuan Batak juga pantas ngobrol di kedai kopi. Itu keren banget.
Ada kalanya pengamen Batak datang ke situ. Mereka menyanyikan lagu-lagu Batak di luar kedai yang terbuka. Tak jarang para pengunjung ikut larut bernyanyi.Â
Sore itu, kami bertiga tidak merasa sebagai orang asing di kopitiam Kok Tong itu. Kami merasa bagian integral dari keseluruhan pengunjung kedai kopi itu. Meminjam istilah Ben Anderson, kopitiam Kong Tok itu telah menjadi semacam "komunitas terbayang" (imagined community), dan kami bertiga serta para pengunjung lain adalah "warga komunitas" itu.Â
Kami semua minum kopi di situ untuk menghangati pertemanan di antara kami. Tak ada kata-kata kasar dan kotor di kopitiam itu, karena kopi tak memabukkan seperti tuak.
Siantar selayaknya  berterimakasih kepada ikon sosial kopitiam Kok Tong. Dia telah menjadi oase sosial Siantar, tempat warga dari berbagai etnis, agama, ras, dan golongan bertemu, tertawa gembira dengan secangkir kopi di tangan.
Sore itu kami bertiga pulang kembali ke pastoran SMCS dengan pertemanan yang lebih hangat, karena  telah dihangati dengan secangkir kopi susu di kopitiam Kok Tong.Â