Untuk mengatasi kepadatan penduduk Pulau Jawa, awal 1900-an Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan progran kolonisasi ke Lampung. Â Keluarga-keluarga Jawa dikirim ke pedalaman Lampung untuk membentuk koloni sosial eksklusif di sana. Kota Metro sekarang adalah salah satu lokus kolonisasi yang memang diproyeksikan seperti itu.
Mengapa Pemerintah Kolonial mengadakan kolonisasi untuk mengontrol kepadatan penduduk Jawa? Ya, karena waktu itu belum ditemukan alat kontrasepsi murah meriah: pil antihamil, spiral, dan kondom. Kalau mau mencegah kehamilan waktu itu, ya, lihat tanggal subur dan taksubur istri saja. Itu pun kalau suami kuat nahan hentakan birahinya. Kalau tidak, yah, mlendung lagi, deh.Â
Dan karena anak mbrojol melulu, maka dikonstruksi suatu kearifan lokal yang nJawani, yaitu "kathah anak kathah rejeki". Bahwa kemudian Cliford Geertz  menemukan fakta kearifan lokal itu menjadi salah satu pangkal "kemiskinan berbagi", mangan ora mangan waton kumpul, itu kan kesimpulan orang bule. Lagian, kita gak merasa miskin, kok. Kenapa dia ribut?
Barulah pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto menjalankan Program Keluarga Berencana (KB) dengan slogan "Dua Anak Cukup, Laki-laki dan Perempuan Sama Saja". Frasa terakhir itu sesat, karena laki-laki dan perempuan adalah identitas jenis kelamin yang berbeda menurut KTP. Makanya ada pemisahan toilet Pria dan Wanita di tempat umum.
Berhasilkan Program KB? Ya, berhasil, sih. Terutama karena kaum istri diwajibkan makan pil KB atau pasang spiral KB, termasuk janda dan nenek (demi target program). Sementara para suami pakai kondom, kalau mau. Heran juga, kenapa dari segi alat kontrasepsi KB juga perempuan harus selalu dimasuki barang. Sementara laki-laki selalu menyarungkan barang. Â Begitupun slogan KB ngeyel "laki-laki dan perempuan sama saja".
Ngomong-ngomong ini tulisan kok ngelantur jauh, ya. Judulnya kan tentang kompasianer dengan anak terbanyak?
Baiklah, kembali ke judul. Rupanya Kompasiana itu medsos anti-program KB. Beruntung bukan era Orde Baru lagi. Dulu orang-orang yang anti Program KB bisa dicap sebagai "anti-pembangunan". Â Malahan, kalau sial, bisa dicap sebagai "antek PKI", sehingga tamatlah riwayatmu. Gen Y dan Z gak paham soal ini, kan?
Jelas bahwa Kompasiana adalah medsos pro-Keluarga Besar. Â Kerjanya ya menambah anggota keluarga sampai jutaan. Semakin banyak "anak" (kompasianer) semakin banyak rejeki Kompasiana. Dengan begitu, gaji Admin K amanlah.
Prinsip banyak anak itu ternyata menulari pula kompasianer. Maka ada kompasianer yang anaknya banyak sekali -- kolektor anak, laki-laki dan perempuan.
Lantas siapakah kompasianer dengan jumlah anak terbanyak? Â Aku beri tahu yang kamu sudah tahu: Bu Roselina Tjiptadinata. Buktinya, baca kolom komentar dalam setiap artikelnya. Setiap kompasianer yang memberi nilai dan atau komentar dipanggilnya "Ananda". Itu jumlahnya ribuan, lho.
Aku sih rapopo kalau Bu Roselina punya anak banyak. Cuma gak kebayang aja beban hidup Pak Tjip. Begitu banyak anak yang harus dihidupinya.
Panjang umur Bu Lina dan Pak Tjip. (eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI