"Nyampe Jakarta udah keburu busuk," jawabnya, ketawa.Â
Memang, bagi orang Jakarta, pasti ada godaan besar untuk belanja sayuran di Cepogo. Segar, murah, dan lengkap. Tomat sekantong plastik besar Ro 20.000; wortel sekantong plastik besar Ro 20.000; daun bawang sepelukan Rp 5.000; kacang panjang setengah pelukan Rp 5.000; ini dan itu semua murah dan segar.
Dalam dekapan udara sejuk Cepogo, orang Jakarta bakal mabok belanja sayur di sini. Beli ini, itu, dan anu sampai penuh sebakul besar. Terus, mau dikemanain tuh sayuran?
Paling bagus, orang Jakarta jangan belanja sayuran di Pasar Sayur Cepogo. Cukup wisata pasar sayur saja. Menikmati kesibukan interaksi transaksi di sana. Sambil memanjakan mata dan rasa hati dengan kesegaran aneka sayuran hijau.Â
Seperti aku pada siang itu. Menikmati kegembiraan para penjual, pembeli, dan kuli angkut di pasar. Memandangi aneka sayuran gunung hijau segar berkat pupuk keringat petani.Â
Saat melangkah ke luar pasar, mata dan hidungku terdistraksi warung-warung yang berjejer di sisi barat pasar. Wangi kopi yang diseduh dan jadah yang dibakar membuat langkahku terhenti, menoleh ke satu warung kopi.
"Nanti di alun-alun Selo saja ngopinya. Di sana lebih enak." Istriku menggamit tanganku. Aku tahu persis istriku belum pernah ke Alun-alun PB VI Selo. Tapi aku kok percaya pada kata-katanya, ya. [eFTe]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI