Aku mengayunkan langkah ke Kedai Bali, menyusuri Jalan Wentar, tepi Kali Pepe, ke arah timur. Kedai itu hanya sekitar 200 meter jaraknya dari rumah keluarga besarku di Kebalen. Atau 50 meter ke barat dari belakang gedung Radio PTPN, yang berdiri di ujung timur blok Kebalen itu.Â
Sebenarnya sudah sejak lama aku tahu keberadaan kedai itu. Sebab tiap kali ke Solo, aku pasti melintas di depannya, sekali dua kali bila keluar dari atau kembali ke rumah keluargaku.Â
"Maaf, apakah masih buka?" Aku bertanya, sambil melongok ke dalam dari pintu kedai yang terbuka. Ada seorang bapak tua, bersama ibu tua dan anak gadis sedang duduk di dalam, berbincang sambil menonton televisi.
Kedai itu adalah rumah, sebuah rumah tinggal. Posisinya menempel pada tembok belakang rumah almarhum Bapak I.J. Kasimo, pendiri Partai Katolik, Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian (1948-1950). Keluarga penghuni rumah itu, sekaligus pemilik dan pengelola Kedai Bali, adalah anak dari pengurus rumah I.J. Kasimo.
"Sudah, Pakde. Pakde perlu apa?" jawab anak gadis keluarga itu ramah. Itu nJawani sekali; kedai sudah tutup, tapi pantang menolak tamu. Dan yang lebih penting, aku jadi Pakdenya kini.
"Saya hanya ingin secangkir kopi hitam, tanpa gula." Aku memesan.Â
Seperti teh yang selalu manis, orang Solo juga menyeduh kopi selalu dengan gula. Seakan minum teh atau kopi adalah alasan makan gula.
"Silakan duduk, Pakde," gadis itu mempersilakan.
"Maaf, Mbak, bubuk kopinya sasetan?"
"Bukan, Pakde. Kopi bubuk beli di pasar."
Bagus sekali. Itu yang kumau. Kopi asli gilingan pasar tradisional.