Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Dari Siantar ke Parapat: 50 km Jalan Kaki Bersandal Jepit

15 Maret 2024   05:22 Diperbarui: 16 Maret 2024   13:00 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret jalur Harangan Ganjang di jalan raya Siantar-Parapat tahun 2015. Tahun 1975 kondisinya lebih lebat dan sepi. (Foto: tumblr.com/andiksiboro-blog)

Sejatinya pintu gerbang itu selalu terbuka dari pagi sampai sore. Tapi anak-anak "Golongan Kecil" atau kelas 1-3 SMP (Prima, Secunda, Tertia) terlarang melangkah keluar gerbang itu, kecuali saat acara jalan-jalan hari Minggu pagi. Hanya anak-anak "Golongan Besar" atau kelas 1-3 SMA (Grammatica, Sintaksis, Poesis) dan kelas 7 (Rhetorica) yang mendapat hak melewati gerbang itu untuk jalan-jalan sore.

Barangkali itu semacam ujian juga bagi anak-anak Golongan Besar dan Rhetorica yang sedang beger. Saat jalan-jalan sore mereka kerap bertemu dengan gadis-gadis manis sepanjang Jalan Lapangan Bola Atas, tempat SMCS berada. Itu menjadi ujian apakah setelah pertemuan itu mereka akan kembali lagi ke asrama, atau malah pergi kawin lari dengan gadis manis itu.

Tak terasa perjalanan sudah sekitar 4 jam. Melewati tepi kota Siantar, kota kecil Tigabalata, dan okampung-kampung yang membisu. Juga kebun sawit yang gelap dan sunyi di koridor jalan raya Siantar-Parapat. Hanya celoteh anak-anak yang berjalan dalam kelompok 3-5 orang yang terdengar. Dengan interupsi dari sorot lampu dan derum truk dan bus yang sesekali melintas membelah malam.

"Kita istirahat sebentar di sini," suara kakak Rhetorica memecah hening dini hari. Di sebelah kiri jalan tampak Gereja Katolik Stasi Tigadolok terang benderang bermandi cahaya petromaks. Tampak sejumlah bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja putra-putri menyambut dan mempersilahkan kami memasuki gedung gereja.

Puji Tuhan!

Di atas meja-meja di dalam gereja sudah tersedia makanan dan minuman. Ada roti, lampet, pisang goreng, dan singkong goreng. Lalu ada teh manis dan kopi, semuanya panas.


Kami adalah remaja omnivora yang sedang rakus-rakusnya, memenuhi tuntutan pertumbuhan tubuh dan bulu-bulunya. Tak ditawarkan pun sajian itu akan kami ludeskan secara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Tidakkah benar bahwa Tuhan telah menuntun langkah kami ke "padang hijau dan air bening"? Tentu saja lewat tangan-tangan umat Katolik Tigadolok. Mauliate godang dari kami untuk mereka. 

Potret jalur Harangan Ganjang di jalan raya Siantar-Parapat tahun 2015. Tahun 1975 kondisinya lebih lebat dan sepi. (Foto: tumblr.com/andiksiboro-blog)
Potret jalur Harangan Ganjang di jalan raya Siantar-Parapat tahun 2015. Tahun 1975 kondisinya lebih lebat dan sepi. (Foto: tumblr.com/andiksiboro-blog)

Harangan Ganjang yang Mencekam

Sudah setengah jalan, tinggal 25 km lagi sampai sudah di Parapat. Tapi tak sesederhana itulah. 

Jalur Tigadolok-Parapat dalam long march itu justru yang paling mencekam. Soalnya harus melewati satu ruas jalan yang dikenal luas sebagai Harangan Ganjang (Hutan Panjang), suatu areal hutan lindung. Ruas itu berada di antara kampung Pondok Bulu dan kampung Aek Nauli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun