Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gentrifikasi Rempang: Kolonialisme Legal di Tanah Merdeka

19 September 2023   06:41 Diperbarui: 20 September 2023   07:15 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentrok antara warga yang menolak pengukuran lahan dan tim gabungan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau (Kepri) (DOK BP BATAM via kompas.com)

Hal serupa terjadi juga dalam kasus Rempang Eco City. Tak tertutup kemungkinan kelak akan terjadi juga jika, misalnya, ada proyek Galang Eco City. Warga Rempang yang baru direlokasi ke sana, bila demikian akhir kisah, akan digusur ke laut mana lagi?

Tidakkah lebih bijak, juga manusiawi, bila rancang-bangun Rempang Eco City dikoreksi dengan cara mengintegrasikan 16 kampung tua, kemudian direvitalisasi, ke dalam kawasan pengembangan itu? 

Sekurangnya ada lima alasan untuk mengambil kebijakan semacam itu, Pak Presiden.

Pertama, penting untuk memastikan suatu proyek pembangunan kawasan ekonomi tidak berdampak disintegrasi sosial, dengan cara mempertahankan dan memberi fungsi baru (revitalisasi) pemukiman-pemukiman asli warga. Bukannya mengusir warga ke luar kawasan, sehingga justru menimbulkan disintegrasi atau bahkan polarisasi sosial. 

Integrasi desa itu bisa dengan cara meningkatkan kualitas desa yang ada tanpa memindahkannya. Bisa pula, kalau tak mungkin dipertahankan lokasinya, direplikasi di tempat baru tapi masih di kawasan sebentang. Dalam kasus Rempang, ya, tetap di pulau Rempang. Pilihan-pilihan itu diterapkan lewat komunikasi dengan komunitas setempat.

Kedua, penting bagi setiap "tuan tanah" aktor gentrifikasi yang mengusung konsep"eco(logy" seperti Rempang Eco City itu konsisten pada definisi ekology (atau ekosistem) yang tak hanya menyangkut lingkungan fisik tapi juga lingkungan sosial.


Pak Meninves bilang Rempang Eco City itu menerapkan konsep "green industry". Bahasa Indonesianya industri ramah lingkungan. Tak hanya lingkungan fisik, tapi juga sosial. Jadi tolong diingatkan juga Pak Meninves, bahwa tak ada industri ramah lingkungan mengusir penduduk asli.

Ketiga, integrasi kampung-kampung asli di Rempang Eco City tak akan menjatuhkan nilai proyek itu di mata investor. Justru sebaliknya akan menjadi nilai tambah bagi kawasan karena bisa menjadikan kampung asli sebagai bagian dari supporting system. Perusahaan yang berinvestasi di kawasan ramah lingkungan sosial (dan fisik) semacam itu justru akan mendapat apresiasi di pasar modal. Harga sahamnya bisa naik.

Keempat, sudah terlalu lama di negeri merdeka ini penduduk asli diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek pembangunan. Jika warga asli diintegrasikan status dan perannya sebagai subyek Rempang Eco City, niscaya proyek ini akan menjadi success story pembangunan ramah sosial yang bakal mendulang penghargaan dunia.

Kelima, menghilangkan suatu kampung asli yang sudah berusia ratusan tahun layak dipertimbangkan sebagai "kejahatan budaya", penggelapan sejarah dan artefak budaya sebuah etnis ataupun sub-etnis nusantara.

Jadi, seperti seorang presiden negara adikuasa yang konon memegang tombol bom nuklir, Pak Presiden kini juga sejatinya sedang memegang tombol "kiamat" warga Rempang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun